Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Waspada Kelompok Ekstremis Bergentayangan

3 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 3 Desember 2020   09:04 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merebaknya aksi terorisme dan seruan jihad yang didengungkan belakangan ini, menandakan bahwa agama telah disalahgunakan oleh sebagian dari umatnya. Aneka macam radikalisme dan kekerasan, bahkan sampai pembunuhan, menunjukkan dangkalnya pemahaman agama secuil penganutnya. 

Jika memang benar Islam adalah agama toleran, agama perdamaian, mengapa sebagian umatnya masih melakukan aksi-aksi anarkisme dan kekerasan? Islam sebagai agama yang katanya rahmatan lil alamin, mengapa masih ada saja seorang Muslim yang melakukan pembunuhan secara keji?

Serangkaian pertanyaan di atas, perlu kita urai satu persatu ujung pangkalnya. Kita tahu betul sesungguhnya akar sejarah dari aksi anarkisme dan radikalisme, jauh saat saat masa para Sahabat Nabi masih hidup. Kita juga mengenal sekte kelompok garis keras yang melakukan aksi ekstremitas itu. 

Sebutan Khawarij bagi kita sudah tidak asing lagi. Sekte ini muncul pertama kali tepatnya pada abad ke-1 H atau sekitar abad pertengahan 7 M. Sekte ini muncul atas dasar konflik politik antara Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pada waktu itu, dan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai lawan politiknya.

Pemahaman Khawarij mengenai teks terkait hukum Allah SWT. tidak mengakui dasar hukum kesepakatan antarmanusia. Ciri-cirinya sangat mudah kita kenal jika dikontekstualisasikan pada zaman sekarang ini. Misalnya, fraksi-fraksi Muslim yang berseberangan, tidak satu warna dengannya, satu nafas, dan satu Haluan pemahaman ideologis, maka dianggap sesat, kafir, musyrik, dan lainnya, kemudian ekstremnya adalah halal darahnya. Apalagi Non-Muslim.

Kondisi agama seperti ini tentu saja mengerikan bagi kita semua.  Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul, bagaimana kita mewaspadai dan menghadapi komunal ekstrem ini? Jawabannya adalah pemahaman dasar tentang Islam sebagai agama yang bermakna perdamaian. 

Kata Islam berasal dari kata silm dan salamah yang artinya adalah menyerahkan diri, membimbing kepada perdamaian, membangun keamanan. Islam adalah agama pengampunan, keamanan, keselamatan, dan perdamaian. (Irwan Masduqi, 2011: 153). Berarti ada yang salah dalam dirinya ketika menganggap Islam adalah agama kekerasan dan teror.

Karena itu, ketika ada seorang pengkhotbah agama menyerukan jihad, menyuarakan kebencian, mencemooh kelompok lain, menghina seseorang, menghardik kelompok lain, maka segera tinggalkan demi Kesehatan akal. Sebab jika kita terus dalam situasi itu, bukan mustahil kita juga hanyut dalam emosional hawa nafsu yang tidak lagi bisa dikendalikan. Hasilnya kemudian kita akan selalu memandang orang yang berbeda sebagai musuh, lawan, dan kemudian harus diperangi dan berujung pada aksi terorisme atas nama agama.

Maka pandangan Barat yang semakin memojokkan Islam, yang kita yakini ini sebagai agama keselamatan, justru sebaliknya. Mayoritas politisi, media, dan pemuka agama Non-Muslim di Barat, sangat meyakini bahwa Islam adalah agama yang kaku, keras, dan juga kejam dengan apa yang disebut sebagai keyakinan terorisme. Perilaku sebagian umat Islam yang kaku dan keras, mengakibatkan pandangan Barat terhadap Islam meningkat menjadi diskriminasi terhadap komunitas Muslim di sana.

Masuknya Islam transnasional---Salafisme-Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan juga Hizbut Tahrir---juga sangat berpengaruh pada ekstremitas kontemporer sekarang ini. Pemahaman yang sempit mengideologis terhadap sebagian Muslim, ditambah gejolak ketidakadilan, perilaku korup pejabat, dan kesenjangan sosial, semakin merubah penampilan penganut agama konservatif berwujud murka sosial. Pandangan dan konstruk atas romantisme kejayaan masa lalu sebagai golden age, tidak lagi bisa memahami realitas-realitas modern kosmopolitan.

Situasi seperti ini tidak bisa kita remehkan begitu saja, tidak bisa kita sepelekan. Ini merupakan persoalan serius yang patut kita waspadai bersama. Banyak kalangan pemuda di sekitar kita, atau bahkan yang masih belia, sudah terinfiltrasi dari doktrin intoleransi, radikalisme, dan terorisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun