Tanah gambut merupakan hadiah dari alam yang terbentuk selama ribuan tahun. Sekitar 180 negara memiliki lahan gambut, berupa rawa atau lahan basah. Gambut merupakan ekosistem yang unik dan mempunyai peran penting dalam keseimbangan ekosistem. Untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya lahan gambut, secara global tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day dan pada 2 Juni khusus diperingati sebagai Hari Gambut Sedunia.
Mengutip asean.org, Indonesia memiliki lahan gambut terbesar di Asia Tenggara dengan luas mencapai 20,2 juta hektar. Jumlah ini bahkan setara dengan 88% dari total lahan gambut di kawasan Asia Tenggara dan menyimpan sebesar 57 giga ton karbon. Jumlah ini 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan karbon yang tersimpan di hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.
Di Indonesia, wilayah dengan daerah gambut sekitar 15,6 juta hektar. Persebarannya ada di pulau Sumatera (7,1 juta Ha), Kalimantan (4,8 Ha) dan di Papua (3,7 Ha). Tanah gambut paling luas terdapat di Sumatera, disusul Kalimantan dan Papua. Di Sumatera penyebaran terluas lahan gambut terdapat di sepanjang pantai timur, yaitu di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Mengutip penelitian Wahyunto (2014) persebaran lahan gambut antara lain di dataran sempit pantai barat Sumatera yaitu Kabupaten Pesisir Selatan (Rawa Lunang), Agam, Pasaman, dan di Muko-muko (Bengkulu).
Secara kasat mata air di wilayah gambut nampak coklat kemerahan seperti air teh yang pekat, menandakan kandungan senyawa organik terlarut cukup tinggi. Karakteristik lain yaitu derajat keasaman tinggi (pH Â rendah), kandungan kation yang terkandung rendah serta kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi rendah.
Sayangnya, banyak daerah di Indonesia terindikasi rawan air karena sulitnya mengolah air di lahan gambut. Air gambut yang tidak mengalami proses pengolahan dapat menyebabkan beberapa permasalahan kesehatan diantaranya mengikis lapisan email gigi sehingga mudah keropos. Kandungan besi dan Mangan yang tinggi dalam air juga menyebabkan rasa tidak enak saat diminum. Keterbatasan pengetahuan dan alih teknologi mengenai pengolahan air gambut membuat penduduk sekitar lahan gambut kekurangan air bersih. Padahal air gambut memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai air baku apabila diolah dengan tepat.
Terdapat beragam teknologi untuk mengolah air gambut. Secara konvensional biasanya pengolahan dengan cara menambahkan kapur tohor untuk menaikkan pH air. Metode lain yaitu secara biologis menggunakan bakteri untuk mengurai warna serta kandungan lain dalam air. Kemudian sebagai pelengkap di akhir proses pengolahan biasanya ditambahkan kaporit.
Teknologi Tepat Guna dalam Proses Pengolahan Air Gambut
Secara tradisional pengolahan air gambut dapat dilakukan dengan pengolahan sederhana berbasis teknologi tepat guna. Pengolahan ini dapat dilakukan dalam skala kecil rumah tangga atau berbasis masyarakat. Salah satunya adalah pengolahan dengan tanah liat, yang mulai diperkenalkan pada tahun 1985 di Kabupaten Kapuas. Tanah liat berfungsi sebagai koagulan alami yang dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan setempat.
Penelitian lain membuktikan bahwa biji kelor (Moringa oleifera) dapat digunakan untuk menurunkan zat penyebab kekeruhan. Prinsipnya yaitu dengan cara ionisasi antara gugus karboksilat pada  partikel-partikel  biji  kelor  dalam  air  yang  mempunyai  muatan berlawanan, sehingga terjadi pembentukan flok yang lebih besar dan mudah untuk diendapkan.
Diperlukan edukasi dan transfer pengetahuan kepada masyarakat untuk dapat mengimplementasikan teknologi tepat guna. Pengolahan sederhana ini diharapkan meningkatkan akses masyarakat dalam penyediaan air minum aman.