Dalam kehidupan yang penuh gejolak, manusia tidak hanya harus bertahan, tetapi juga berkembang di tengah tekanan. Inilah esensi dari resiliensi---kemampuan individu untuk bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan. Dalam dunia psikologi, resiliensi dianggap sebagai fondasi penting dalam menjaga kesehatan mental dan mencapai kehidupan yang seimbang.
Resiliensi bukan bawaan lahir, melainkan kapasitas yang bisa dikembangkan seiring waktu. Perubahan cepat dalam dunia modern---baik dari segi sosial, ekonomi, maupun budaya---membuat keterampilan ini semakin relevan untuk dipahami, terutama oleh mahasiswa dan profesional di bidang psikologi.
Menurut Grotberg (1999), resiliensi mencerminkan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap tangguh meskipun menghadapi tekanan atau trauma. Reivich dan Shatt (2002) menambahkan bahwa resiliensi merupakan cara berpikir yang membantu seseorang melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, bukan sebagai hambatan semata.
Resiliensi terbentuk dari sejumlah aspek penting, di antaranya:
- Kesadaran emosional
- Kemampuan menunda respons impulsif
- Optimisme
- Empati
- Kepercayaan diri dan kemampuan reflektif.
Lingkungan yang mendukung---seperti keluarga yang harmonis, pendidikan karakter, serta jaringan sosial yang sehat---juga turut membentuk resiliensi seseorang.
Dalam konteks pendidikan tinggi seperti di jurusan psikologi, pengembangan resiliensi diajarkan sebagai bekal praktis untuk menghadapi tantangan kehidupan nyata. Mahasiswa tak hanya mempelajari konsepnya, tetapi juga dilatih menerapkannya dalam refleksi diri, strategi coping, dan studi kasus berbasis psikologi positif.