Mohon tunggu...
Elvrida Lady Angel Purba
Elvrida Lady Angel Purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menuangkan isi pikiran

Mengalir

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korban Semanggi Butuh Keadilan Bukan Santunan

24 Oktober 2022   01:00 Diperbarui: 24 Oktober 2022   02:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tragedi Semanggi I terjadi 11-13 November 1998, dan tragedi Semanggi II terjadi 14-28 September 1999. Tragedi Semanggi I menyebabkan 17 orang tewas dan 109 lainnya luka-luka. Dalam tragedi Semanggi II, 11 orang tewas dan 217 luka-luka. Berdasarkan pemeriksaan Komisi Pemeriksa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM), cukup bukti awal bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi dalam tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (selanjutnya disebut TSS). Salah satu faktor yang menghambat penanganan kasus TSS adalah rekomendasi Satgas DPR agar kasus tersebut tidak termasuk pelanggaran HAM berat. Pernyataan tersebut merupakan "payung hukum" untuk tidak melanjutkan proses penyidikan berkas perkara yang sebelumnya disidik Kommnas HAM, seperti halnya pernyataan Kejaksaan Agung saat rapat kerja dengan Komisi III pada Januari lalu yang biasa digunakan Kejaksaan. Kantor Umum sebagai 16 Terakhir. Pernyataan kontroversial tersebut telah dikritik oleh para aktivis hak asasi manusia karena mengkhianati perjuangan para penyintas untuk keadilan. Langkah terakhir yang dilakukan korban dan koalisi adalah menggugat kesaksian Jaksa Agung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena menghalangi proses hukum penyelesaian kasus HAM sebelumnya.

Keluarga korban dan koalisi masyarakat sipil telah melakukan berbagai upaya untuk mencari keadilan di masa lalu. Pada tahun 2001, atas rekomendasi Pansus DPR, mereka menugaskan Kommnas HAM untuk menyelidiki kasus TSS. Para penyintas yang mendampingi Sekutu juga bertemu dengan Komisi III dan beberapa kali melobi fraksi-fraksi DPR agar segera mencabut temuan KPPU. Itikad baik ditunjukkan pada tahun 2005 ketika Komisi III menekankan bahwa rekomendasi Komisi Ad Hoc lebih bersifat politis daripada produk hukum dan bahwa jalur hukum tidak boleh dibatasi. Beberapa bulan kemudian, mereka sepakat untuk membalikkan rekomendasi Panitia Ad Hoc, yang kemudian dibawa ke sidang paripurna. Tapi DPR mengingkari janji itu. Sejauh ini, belum ada pembahasan untuk mencabut rekomendasi tersebut.

Insentif publik yang lebih kuat tidak serta merta membuat negara mengambil langkah efektif untuk memutus siklus impunitas (kejahatan tidak dihukum). Bahkan Aksi Kamisan ke-650, yang diadakan di depan istana dan kota-kota, gagal menyentuh hati nurani presiden untuk menerobos benteng pertahanan impunitas yang kuat. Kamisan sendiri didirikan dengan tujuan memerangi impunitas bagi para pelanggar hak asasi manusia dan memfasilitasi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang serius sebelumnya. Salah satunya adalah kasus TSS. Mekanisme penyelesaian kasus kekerasan pada masa lalu sebenarnya diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, namun hingga saat ini proses pembentukannya mandek.

Pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan masih belum terselesaikan, padahal negara harus bisa menjamin keadilan dan memfasilitasi terciptanya kepastian hukum bagi keluarga penyintas pelanggaran HAM masa lalu. kasus lain untuk diselesaikan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tampaknya sangat sulit untuk dijawab, karena pergantian kepemimpinan dan elit politik pada setiap pemilihan umum sebenarnya tidak banyak berdampak pada penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu, hanya sebatas keuntungan politik yang dijanjikan oleh calon pemimpin setelah terpilih, dan latihannya tidak panas, masih duduk dengan nyaman di tengah lingkaran istana.

Kegagalan negara untuk berkomitmen serius menyelesaikan tragedi masa lalu merupakan bukti keinginan pemerintah untuk mempertahankan budaya impunitas, baik melalui jalur yudisial maupun ekstrayudisial. penyelidikan kasus HAM masa lalu. Apalagi di saat Presiden tidak meninggalkan warisan dalam memajukan hak asasi manusia, sudah saatnya presiden berikutnya menepati janjinya. Jika dibiarkan, pelanggaran hak asasi manusia yang serius akan terus terjadi, dan penuntutan terhadap mereka yang diduga bersalah dapat menjadi sulit. Pada saat yang sama dengan peristiwa Semanggi II, pemerintah harus menggunakan hari ini sebagai pendorong untuk mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan insiden sebelumnya. Penyelesaian kasus TSS merupakan salah satu tolak ukur capaian negara dalam memajukan, melindungi, dan mewujudkan hak asasi manusia di Indonesia. Jangan biarkan tragedi kelam masa lalu menjadi beban dari generasi ke generasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun