"Ada calon bupati yang minta dibuatin profilnya nih di radio. Bisa bantu, nggak?" Suatu hari seorang teman pemilik radio lokal di kabupaten menghubungi saya.Â
"Budgetnya berapa?" Tanya saya.Â
"Kamu minta berapa?"Â
"Nah, mau durasi berapa menit? Terus, aku cuma bantu di editing, atau aku yang mengerjakan semua dari awal?" Obrolan berlanjut soal harga jasa dan durasi.Â
"Oke, durasi 12 menit ya? Kapan kira-kira mau mulai? Kira-kira kapan selesainya?"Â
"Tergantung uang muka yang Abang kasih dong." Jawab saya. "Saya kan perlu modal buat kerja."Â
"Kamu buat aja dulu, kalo sudah jadi, baru aku bisa minta uangnya sama calon bupati itu."Â
"Maaf ya, Bang. Nggak ada uang muka, nggak akan ada pekerjaan yang dimulai. Take or leave it!" Saya menutup pembicaraan.Â
Begitu cara saya menghadapi teman yang keseringan minta bantuan, tapi cuma dibayar dengan ucapan terimakasih dan pujian. Padahal, saya sudah mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran. Kadang, keluar biaya juga. Tapi, saat bantuan yang diberikan sudah dibayar, si teman ini tidak merasa punya hutang jasa. Upah dari jasa yang dikerjakan orang lain, dia masukkan ke kantong pribadinya sendiri.Â
"Tolonglah, Vi. Ada artis mau blocking time talkshow, promo lagu barunya. Aku nggak punya penyiar. Penyiarku berhenti semua. Sayang sewa blocking time-nya." Rengeknya suatu hari. Lalu dia menyebutkan nominal sewa blocking time artis yang dia maksud.Â