Mohon tunggu...
ELSA WULANDARI
ELSA WULANDARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Agriculture Engineering Universitas Jenderal Soedirman

Hallo! Saya Elsa Wulandari. Tulisan ini memuat mengenai Opini dan Hasil kajian. Selamat Membaca, semoga bermanfaat!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Feminisme dalam Dinamika Perjuangan Kesetaraan Gender

6 Mei 2022   14:15 Diperbarui: 12 Mei 2022   11:09 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata feminisme pertama kali tercetus pada tahun 1837 oleh Charles Fouruer yaitu seorang aktivis sosialis Utopis, dan berkembang pesat di Amerika sejak adanya publikasi dari John Stuart Mill tentang The Subjection Of Women tahun 1869, dimana Gerakan ini menandai hadirnya feminisme pada gelombang pertama (Kristeva, 2015). Munculnya paham feminisme juga berawal dari ditemukannya bentuk ketimpangan sosial berbasis gender.

Feminisme sendiri merupakan suatu ideologi atau serangkaian Gerakan keperempuaan guna menuntut emansipasi atau keadilan antar hak laki-laki dan perempuan, hingga mencapai pada titik kesetaraan gender baik dalam lingkungan politik, ekonomi, pribadi, maupun sosial.

Di Indonesia, pergerakan perempua diinisiasi oleh beberapa tokoh atas seperti R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan masih banyak lagi.

Telaah asumsi yang mengawali, bahwa dimana kaum perempuan mengalami Tindakan diskriminasi dan adanya dorongan untuk menghentikan semua diskriminasi itu, hingga perkembangan feminisme semakin pesat.  Menilik pengertian tersebut, kecenderungan feminisme yaitu ada pada kaum perempuan, padahal tidak hanya dan tidak harus perempuan. namun semuanya, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketertindasan dan melakukan upaya untuk menghilangkan ketertindasan itu.

Banyaknya aktivitas dan kondisi sosial yang mengharuskan perempuan untuk berjuang Bersama kaum laki-laki, saling bekerja sama walau keduanya berbeda dalam segi gender. Tentu adanya perbedaan gender tersebut, melahirkan perbedaan peran antar laki-laki dan perempuan juga. 

Peran gender merupakan suatu budaya patriarki yang muncul sebagai konsekuensi di tengah masyarakat dan tidak dapat di ganggu gugat. Misalnya disini adalah pembagian peran dalam keluarga, dimana sang istri diperuntukan untuk menjaga, membersihkan rumah, merawat anak, dan memasak. 

Peran yang berada dalam lingkup keluarga, masyarakat umum sering menyebutnya dapur, sumur dan kasur yang sangat membumi dan melekat pada kaum perempuan.  Dan suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya atau sering disebut memiliki peran publik sebagai aktualisasi diri kaum laki-laki, yang mengurus mengenai kepentingan diluar rumah atau keluarganya.

Budaya tersebut berhasil terwariskan kepada penduduk agraris ini, yang dimana dalam perkembangannya menimbulkan adanya sekat dalam pemberian peran, yang dikontruksikan oleh masyarakat ini dan mau tidak mau justru malah mempersempit gerak perempuan dan menambah beban bagi kaum laki-laki.

Tidak hanya itu, streotipe mengenai perempuan yang tidak perlu berpendidikan tinggipun masih disepakati oleh sebagian orang, khususnya dalam konteks masyarakat tradisional yang mengganggap bahwa pendidikan pada perempuan akan berakhir dengan Kesia-siaan saja. Dimana hal tersebut menjadikan salah satu bukti, bahwa masih terpelihara pemahaman salah dan seakan menghalang-halangi perempuan untuk maju. 

Terlebih, sadar tidak sadar, bahwa anggapan setiap orang terhadap cermin seorang laki-laki, yang kuat, tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah, tidak boleh menangis, justru cukup memberikan beban dan memaksakan diri seorang laki-laki untuk tumbuh sesuai dengan harapan masyarakat luas. Laki-laki yang diberikan tugas lebih berat ketimbang perempuanpun dapat menimbulkan adanya tekanan bahkan depresi. 

Padahal, perlu disadari juga, bahwasannya kerja sama antara laki-laki dan perempuan bukanlah suatu hal yang memalukan, justru  mereka kini dapat bekerja sama sebagai partner dengan baik tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. (Muttaqin, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun