Mohon tunggu...
Elly Esra
Elly Esra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Segelas Kopi: Demokrasi Berbuah Cinta

26 April 2015   23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Segelas kopi hitam di pagi ini membuatku begitu (n=h)ikmat merasakan alam pagi yang begitu indah. Karunia Tuhan yang besar pada diri dan alam (lebay dhe hehehe), membuka diri pada situasi pagi untuk merenung tentang “kebijaksanaan”. Awalnya biasa saja, saya bangun dan meneguk segelas air putih, kenikmatan itu memberi arah pada sebuah ingatan tentang Sila ke-4 Pancasilayakni: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, hmmmm agak aneh sich, tapi saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa “demokrasi Indonesia” adalah “demokrasi perwakilan” hahahhaha itukan hal biasa, diri ini mulai terlihat lebay…tapi jujur saya memang memikirkan hal itu pagi ini.

Demokrasi itu, sesuai dengan yang diajarkan guru saya waktu di sekolah Pertama dan Atas adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, dan akhirnya saya sadar bahwa pengertian itu direpresentasikan oleh sekelompok orang yang berperan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota DPR atau Legislatif ini dipilih rakyat untuk menyuarakan, membela, dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, dalam jangka waktu 5 tahun. Kerakyatan dapat dimaknai sebagai: a). segala sesuatu yang mengenai rakyat; b). demokrasi; dan c). kewarganegaraan (KBBI, 2008). Segala sesuatu mengenai rakyat itu harus dipimpin, diatur, dan diputuskan oleh orang-orang yang memiliki hikmat kebijaksanaan. Pertanyaan saya pagi ini adalah: siapakah orang-orang yang memiliki hikmat dan kebijaksanaan itu?.

Agak sulit menjawab pertanyaan itu, namun kata dosen saya, yang memiliki hikmat dan kebijaksanaan adalah orang-orang yang berperilaku baik, jujur, setia, bertanggungjawab, mengasihi sesama, toleran, atau dengan kata lain mampu mengamalkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, yang terlembagakan sebagai DPR. Manusia dengan ciri seperti inilah yang akan mampu memimpin “kerakyatan oleh hikmat/kebijaksanaan” dan faktanya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan itu ada “dalam permusyawaratan/perwakilan.” Jadi, wakil rakyat harus memimpin rakyat dengan hikmat/ kebijaksanaan-nya. Permasalahannya fakta lain juga membuktikan bahwa perilaku wakil-wakil kita saat ini seakan menjauh dari nilai-nilai itu hmmmmm mulai menuduh hehehe.

Konsep “demokrasi perwakilan” yang adalah ruh sila ke-4 harus diakui bahwa telah mengalami pergeseran makna jika diperhadapkan dengan konsep “demokrasi langsung” yang mulai dilaksanakan pasca reformasi–Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, wow sirius amat hehehe. Demokrasi langsung memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih dan menentukan siapa presidennya, siapa gubernurnya, siapa bupati atau walikotanya. Karena itu, fungsi representatif rakyat Indonesia di DPR menjadi tidak terlalu penting, yakin lo hehehe. Namun dengan mekanisme menetapan calon presiden yang masih “dimainkan” oleh partai-partai politik memunculkan asumsi bahwa calon presiden independen mungkin sulit untuk mencul, sebab demokrasi Indonesia masih bernafaskan kepentingan partai politik yang juga adalah “sarang” para wakil rakyat, mudah-mudahan kopi-ku gak dingin sebelum tulisan ini selesai hehehehe

Partai politik di Indonesia yang tampak sebagai pelangi pada faktanya masih lebih memperjuangkan kepentingan “warnanya” sendiri ketimbang kepentingan “merah putih”. Demokrasi Pancasila tentu tidak bernafaskan perjuangan kepentingan golongan atau segelintir orang yang mendukung “warna” tertentu, atau dengan kata lain, namanya wakil rakyat maka tentu harus mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya untuk membela kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, sayangnya teori terkadang tidak selaras dengan praktek, dan itu sah-sah saja–nah ini sama saja dengan teori kopi, sudah dibuat gak diminum hehehehe bukan itu maksud saya, anda jangan terpancing dengan kata-kata tanpa arti ciee–asal tidak dilegitimasi bahwa yang ada adalah wakil partai. Walaupun demikian, rakyat terkadang tidak berdaya dalam melakukan kontrol terhadap perilaku elit negara yang kebanyakan tidak lagi memiliki rasa malu dalam menyengsarakan rakyat, demokrasi berubah makna menjadi: saling membagi uang, saling membagi kekuasaan dan kehormatan, saling melindungi sesama elit, bahkan (mungkin) saling memiskinkan rakyat yang sudah miskin, bodoh, dan kesakitan, apakah ini bagian dari mufakat?

Mungkin perlu sedikit waktu untuk merenungkan defnisi demokrasi–juga sedikit waktu untuk menikmati kopi yang hampir dingin hehehehe–yang dikemukakan oleh David Beetham (1993:55), bahwa "democarcy as a mode of decision-making about collectively binding rules and policies over which the people exercise control". Dalam definisi ini, dua hal yang paling penting adalah adanya kontrol dari masyarakat (popular control) dan adanya kesama-derajadan dalam politik (political equality). Pertanyaannya apakah sudah terlaksanakan? Banyak kasus yang dapat dirujuk, dan rujukan itu membenarkan bahwa upaya mencapai praktek demokrasi yang ideal itu masih jauh dari harapan. Demokrasi seperti yang dikemukakan Beetham tentu cukup terbuka bagi pemahaman yang bersifat representatif demokrasi atau partisipatori demokrasi. Selain itu, juga terbuka bagi pemahaman yang bersifat liberal inteprestasi maupun sosialis intepretasi. Dengan demikian konsep itu memberi peluang bagi kita untuk mampu mempertanyakan praktek pemerintahan yang dilakukan baik pada aras lokal, regional, maupun pusat apakah praktek itu demokratis atau tidak.

Demokrasi memerlukan sentuhan “rasa” ibarat segelas kopi hitam yang saya racik di pagi yang indah ini hehehehehe jika tidak hati-hati mencampurkan gula dan kopi dan diseduh dengan air yang benar-benar panas maka akan terasa aneh. Kekurangan gula akan mengakibatkan rasa pahit, kelebihan gula akan berdampak terlalu manis–bagi yang diabetes tolong kurangi gula hehehe, apalagi kalau anda sudah mencampurkan gula dan kopi tanpa memberi air panas, ini lebih bahaya kawan, saya yakin anda tidak akan meminumnya, karena yang namanya minum pasti berhubungan dengan air hehehehe. Demokrasi ibaratnya seperti itu, jadi parus pass: pas kopinya, pas gulanya, pas airnya. Demokrasi tidak menghendaki ada yang mengganggap diri paling/lebih tahu dan mengatur yang lainnya, demokrasi adalah adalah kesamaderajadan demokrasi adalah sama-sama mengontrol, sama-sama kerja, sama-sama susah, sama-sama senang; bukan yang lain kerja yang lain kontrol, yang lain kerja yang jadi tuan, yang lain senang yang lain susah. Demokrasi itu gotong royong, kata om Karno, anda pasti kenal orangnya. Beetham mana…Beetham… kita kembali ke om David Beetham dulu ya.

Dengan mengutip David Beetham tidak berarti bahwa demokrasi Indonesia harus mengekor pada demokrasi Barat. Saya bersepakat dengan uraian Soekarno yang juga tidak menghendaki demokrasi Barat–yang dituduhnya hanya sebatas demokrasi politik (politieke democratie) dan tidak memperhitungkan kesejahtraan sosial. Menurut hemat saya, konsep demokrasi yang dikemukakan Beetham tentu memiliki persamaan dengan yang dibayangkan/diinginkan oleh para pendiri negara ini. Sebab itu, dibutuhkan kontrol dari rakyat agar praktek demokrasi menjadi lebih baik dan adil demi menciptakan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kontrol masyarakat juga hanya akan berjalan dengan baik jika ada ruang kebebasan berekpresi dan berpendapat. Ruang kebebasan itu harus dibuka sebagai konsekuensi logis dari adanya political equality. Disinilah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi Soekarno menemukan format yang tepat dalam rangka membawa rakyat Indonesia ke dalam taman sari kemerdekaannya.

Fenomena Taman Kanak-Kanak

Jika kita meluangkan waktu untuk mengamati perilaku anak-anak TK–Taman Kanak-Kanak, ada yang menarik di sana: ketidakteraturan, walau saya agak memaksakan konsep ini, anda boleh berbeda pandangan, inikan demokrasi. Ketidakteraturan yang tampak adalah adanya mainan anak-anak berserakan di ruang kelas, ada yang mengganggu temannya, ada yang tidur, ada yang menangis kerena dipukul, ada yang berantem/berkelahi, ada yang menangis tanpa sebab, termasuk ada yang begitu senang melihat teman-temannya sehingga rela berbagi makanan yang disiapkan ibunya dari rumah. Ya, namanya juga anak-anak. Selalu minta diperhatikan. Bandingkan fenomena itu dengan perilaku anggota Dewan Republik Indonesia yang selalu disiarkan dengan begitu ‘bergairah’ oleh berbagai siaran TV, yang tampak adalah banyak persamaannya: ada yang tidur, ada yang berkelahi, ada yang beradu argumen samapai isi kebun binatang dikeluarkan, ada yang “membagi makanan”, ada yang nonton sendiri waktu sidang. Itulah faktanya! Apakah mereka (anggota dewan) memiliki hikmat kebijaksanaan itu? Hanya diri mereka, kopi hitam yang sedang saya minum, danTuhan yang tahu hehehehe lebay dhe..!

Praktek demokrasi perwakilan yang amburadul ini, bukan fenomena baru. Sejak pemilu pertama 1955 yang memilih Badan Konstituante itu fenomena saling berantem ini sudah terjadi, walaupun demikian harus diakui bahwa nuansanya berbeda. Dulu saling berantem itu dikarenakan masalah ideologi negara baru yang masih terus diganggu oleh kepentingan politik baik internal maupun eksternal, sedangkan saat ini saling berantem itu hanya dikarenakan masalah saling melindungi teman, saling melindungi kepentingan, walau tidak semua tapi hampir semua memang seperti itu, ciee maksa argument situ e…hehehe biasalah sedikit mendramatisir biar tampak menggoda sang kekasih hahahahaha asli gak nyambung. Ya sudah saya kembali ajja ke konteksnya.

Perdebatan Badan Konstituante yang tidak kunjung usai itu membuat Soekarno muak, ujungnya “surat sakti” Presiden harus digunakan untuk menyelesaikan perdebatan itu. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah surat sakti yang digunakan sebagai dasar pembubaran badan konstituante, dan kembali pada UUD 1945. Perilaku elite politik yang tidak pernah belajar dari pengalaman akibat sering berantem itulah yang juga membuat Abdurahman Wahid (Gus Dur) muak, bahkan menuduh DPR sebagai “kumpulan anak-anak TK”. Ujung dari kemarahan Gus Dur adalah dikeluarkannya “surat sakti” pembubatan anggota DPR, sayangnya Dekrit Presiden yang dikeluarkan Gus Dur, kurang sakti dari dekritnya Soekarno, hasilnya malah Gus Dur yang harus keluar dari Istana Negara–diberhentikan sebagai Presiden RI. Siapa yang salah dalam hal ini, ah, tentu bukan kopi hitam, temanz bisa menilai sendiri, itupun kalau kawan mau menilainya hehehe.

Ada masalah dalam praktek demokrasi Indonesia, biasa ajja kalee cuma mau minum kopi juga malah keliling Indonesia. Capek juga sich, tapi biarlah kopiku masih hangat. Demokrasi Indonesia (demokrasi pancasila?) yang sejatinya adalah demokrasi ekonomi, sosial, dan politik, telah tereduksi hanya sebatas demokrasi politik. Akibatnya tujuan yang dicapai hanyalah kekuasaan–siapa yang banyak memiliki modal dialah yang berkuasa dan menentukan; demokrasi yang dipraktekan sebatas transaksi pasal dalam pembuatan Undang-undang; demokrasi dalam bentuk pembagian uang dan saling menjaga antar rekanan; demokrasi yang diukur berdasarkan suara mayoritas; atau demo-demokrasian. Dengan kata lain praktek demokrasi di Indonesia lebih merujuk pada nilai demokrasi liberal, yang menurut saya merupakan rujukan yang keliru bahkan salah–sebab Indonesia punya Pancasila. Gus Dur pernah mengeluarkan statemen “demokrasi yang kebablasan” sebab hanya bersifat prosedural, dan peniadaan nilai munyawarah dan mufakat. Orang banyak berkata demokrasi tipu-tipu, saya juga berkata seperti itu walau dengan sedikit malu-malu hehehehe alay...

Jika mau jujur, jujur ajja gak ada yang marah apalagi melarang, inikan kamar saya, ruang saya, suka-suka saya donk heheheheheh, maka sebenarnya masalah kemiskinan, keterbelakangan, keinginan disintegrasi sampai pada konflik bernuansa SARA adalah akibat dari demokrasi yang salah urus ini, yakin lo, gak juga sich hehehe. Konstitusi atau UUD 1945 telah diamandemen, bahkan sudah empat kali namun tidak juga sanggup menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul. Keluarnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi oleh pemerintahan Megawati menjadi UU No. 32/2004 juga bukan solusi yang tepat dan berguna, malah meninggalkan setumpuk permasalahan baru di daerah. Walaupun demikian harus diakui juga sisi positifnya dalam membuka ruang bagi tumbuh dan berkembangnya civil society. Kemampuan dengan kebulatan tekad untuk memperkuat kelembagaan masyarakat demi terbangunnya civil sosiety akan menambah energi perjuangan rakyat untuk bangkit mengontrol dengan lebih cerdas perilaku elite politik maupun elite birokrasi yang kekanak-kanakkan itu, agar lebih berperilaku layaknya orang yang memiliki Hikmat/Kebijaksanaan.

Menurut saya, dengan segelas kopi hitam yang (n=h)ikmat persoalan tentang hikmat/kebijsanaan itu adalah persoalan tentang CINTA, anda tidak perlu senyum lebar seperti itu, cinta ini tidak seperti yang sedang anda senyumkan hehehehe, jadi ingin dikatakan memiliki hikmat/kebijaksanaan, maka berprilakulah layaknya orang yang memiliki cinta, orang yang mau mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri. Karena itu, demokrasi juga adalah cinta, sebab hanya cinta yang mampu memberi ruang bagi perbedaan pendapat bahkan juga perbedaan pendapatan hehehehehe. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun