Mohon tunggu...
Elissa Putri
Elissa Putri Mohon Tunggu... -

Istri yang selalu taat pada suami I Pembelajar yang selalu ingin mengetahui I

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Heroisme Seorang Ayah

24 Februari 2016   20:22 Diperbarui: 24 Februari 2016   21:16 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Petang itu, sekitar tahun 1978 dua anak laki-laki berdiri termangu di Stasiun Gambir. Yang satu berusia sekitar 13 tahun, yang satu lagi lebih muda setahun. Mereka bersaudara. Wajah keduanya penuh harap-harap cemas. Sesekali mereka lihat roda kereta, takut-takut sudah akan berangkat.

Sepertinya, ada yang sedang ditunggu oleh keduanya. Dan tentunya, yang ditunggu harus cepat datang. Sebelum kereta berangkat sang adik mulai cemas dan mengeluh. Tapi kakaknya berusaha menyabarkannya. “Sebentar lagi, Abah pasti datang, jangan khawatir”, kata sang kakak. Ia cuma ingin menghibur lara sang adik sebab ia sendiri juga nyaris putus asa menunggu ayahnya datang.

Sang kakak teringat kejadian seminggu sebelumya. Saat itu, ia mendekat sang ayah yang duduk di ruang tamu, “Abah, minggu depan sekolah mengadakan studi tour ke Malang, aku dan adik ingin sekali ikut. Tapi biayanya sangat mahal.” Tanpa menunjukkan keraguan sedikitpun sang ayah berkata: “ikutlah. Beberapa hari lagi Abah akan kasih biayanya.” Padahal sang ayah belum tahu dari mana ia akan mendapatkan uang itu. Profesi yang dilakoninya tak cukup memberikan materi lebih dari sekadar membeli kebutuhan pokok.

Pada hari yang dijanjikan tiga hari sebelum hari H, sang ayah memberikan uang yang dijanjikannya sembari berkata: “ini untuk uang biaya ke sekolah, untuk uang sakumu akan Abah berikan nanti ketika kamu berangkat, anakku.” Sekali lagi, ketidakpastian tersorot dari mata sang ayah dari mana ia akan dapatkan uang saku untuk anaknya. Menunda waktu hanyalah sebagian dari caranya untuk terus bekerja keras mendapatkan uang itu.

Sore itu, di Stasiun Gambir, Adalah hari keberangkatan studi tour. Kedua bocah kecil itu menunggu kedatangan ayahnya, yang berjanji akan membawa uang saku berangkat ke Malang. Semua kawannya telah masuk ke gerbong kereta. Tinggal mereka berdua, termangu menunggu detik-detik kemunculan ayahnya. Sang ayah tak jua datang, sementara roda kereta sudah menggelinding. Kawan-kawannya memanggilnya untuk masuk. Sang kakak menuntun tangan adiknya, mengajak masuk kereta.

Sambil berlari, sang adik bertanya penuh ragu: “jika tak ada uang bagaimana kita di sana kak.”“Jangan khawatir,” jawab sang kakak singkat. Padahal di kejauhan lubuk hati sang kakak, berkecamuk kebingungan dari mana ia bisa mendapatkan uang saku ketika di Malang nanti. Sepintas, karakter dan sifat sang ayah terlihat dalam diri anak ini, tidak ingin mengecewakan keluarga yang disayanginya.

Kakak beradik itu sudah di dalam kereta. Roda kereta menggelinding perlahan. Tapi kepala mereka masih melongok keluar kereta, berharap-harap sang ayah datang di detik-detik terakhir.

Harapan itu datang. Dari kejauhan mereka melihat sosok lelaki teguh berlari kencang, mengejar kereta. Kakak beradik itu kenal betul siapa lelaki itu. Cara berlari khas sang ayah, sosok yang sangat mereka kagumi dan hormati. Sambil berlari mengejar kereta, sang ayah mengeluarkan dua lembar uang kertas. Setelah dekat pada jendela kereta, dari sela-sela jendela kereta, uang itu dijulurkannya pada anak lelakinya. Kereta berlari kencang, membawa kedua anaknya pergi ke malang. Ia kibaskan tangannya, sebagai ucapan selamat jalan. Keringat masih mengucur deras dari keningnya. Akhirnya, ia tunaikan juga tanggungjawabnya sebagai seorang ayah, dalam membahagiakan anaknya.

Kereta berlari semakin jauh. Wajah sang ayah semakin menjauh. Kakak beradik itu masih memandang wajah wibawa yang penuh keringat itu. Lelaki itu bukan hanya seorang ayah tapi juga malaikat mereka, menjadi sinar penerang dalam keluarga. Ia teguh dan bertanggung jawab.

Sore itu di dalam kereta, air mata menetes dari mata benih kedua bocah kecil itu, melihat kepahlawanan ayahnya. Dan saat itu terlontarlah sebuah doa dari sang kakak yang kelak menjadi api pembakar semangatnya sepanjang hidup.

“Ya Allah, ayahku selalu menunaikan tanggung jawab yang Engkau embankan pada-Nya, untuk menjaga putra-putrinya. Dan hingga detik ini aku masih belum bisa membalas jasa baiknya. Ya Allah, jika kiranya nanti aku akan menjadi orang yang yang melalaikan kewajiban sebagai seorang anak dan hanya akan mencoreng nama baik ayahku. Maka matikanlah aku sejak saat ini, tapi jika kelak aku tumbuh menjadi seorang anak yang mengharumkan nama baik ayahku, panjangkanlah umurku. Agar aku bisa membalas sebagian kecil dari jasa-jasa ayahku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun