Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lembaga Sukarela oleh Masyarakat: Delegitimasi dan Deinstitusionalisasi

8 Mei 2016   17:56 Diperbarui: 9 Mei 2016   15:08 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lembaga sosial

Pemanasan global menjadi masalah yang terus mengintai makhluk hidup di bumi. Kegentingan dari pemanasan global tidak bisa berakhir hanya dengan solusi-solusi yang telah diusulkan para ahli lingkungan dan pemerintah. Melainkan, itu membutuhkan upaya tambahan yang didasarkan pada pertimbangan pragmatis jangka pendek dan aksi global yang tersebar luas untuk dapat berdamai dengan pemanasan global. Blühdorn (2000, hal. xii dalam Brulle, 2010, hal. 1) mengatakan bahwa aksi tersebut termasuk di dalamnya pemikiran kembali dan reorientasi terhadap usaha pemanasan global untuk membangun pengaruh politik yang lebih manjur untuk dapat mempercepat langkah dan jangkauan perubahan sosial.

Masyarakat Kritis dan Lembaga Bentukannya

Masyarakat sipil menjadi kunci dalam perubahan sosial skala besar. Lembaga sukarela yang digiatkan oleh masyarakat sipil dirasa membawa angin segar bagi kemunculan institusi yang independen−yang bebas dari kepentingan pasar dan negara (baca: ekonomi dan politik). Lembaga ini yang nantinya dapat menjembatani hubungan antara warga dengan pemerintah, yang memungkinkan penyampaian segala bentuk kritik.

Kemunculan lembaga independen tersebut membawa pengaruh baik. Bahkan Calhoun (1993, hal. 392 dalam Brulle, 2010, hal 2) meyakini bahwa dengan membentuk dan mengadvokasi alternatif worldview, gerakan sosial dapat memperluas jangkauan gagasan yang dipertimbangkan, dan dengan demikian membantu menyukseskan adaptasi dari lembaga-lembaga sosial pada perubahan kondisi. Untuk menghantarkan komunikasi alternatif ini ke dalam bentuk dialog publik, lembaga sosial membutuhkan ruang publik sebagai wadah.

Menurut Jurgen Habermas (dalam Brulle, 2010, hal 2), ruang publik adalah di mana organisasi gerakan sosial dapat mengidentifikasi masalah, mengembangkan kemungkinan solusi, dan menciptakan tekanan politik yang cukup agar masalah tersebut ditangani oleh pemerintah konstitusional. Dengan begitu, pengambilan keputusan akan dilakukan secara kolektif sehingga semakin mendekatkan kita pada kebijakan yang bermoral, jauh dari individualisme sempit. Idealnya, kebijakan ekologis seharusnya bebas dari tekanan ekonomi politik.

Ekonomi dan politik memang menjadi pilar penting dalam suatu negara karenanya tekanan yang dimunculkan begitu besar terhadap aspek lain. Tekanan lembaga-lembaga politik dan ekonomi membatasi perintah (dalam bentuk kebijakan-kebijakan) yang ada agar tetap sejalan dengan tujuan utama mereka. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Schlosberg & Rinfret (2008, hal. 270 dalam Brulle, 2010, hal 2) bahwa untuk pasar, perintah ini adalah suatu keharusan untuk memaksimalkan pengembalian investasi melalui ekspansi ekonomi yang berkesinambungan. Sedangkan untuk negara, meliputi penyediaan keamanan, memastikan pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan legitimasi politik.

Kebijakan ekonomi dan politik seakan-akan tidak bisa diganggu gugat, karenanya pemerintah beranggapan daripada mengubah lembaga ekonomi politik dalam menghadapi perubahan sosial dalam hal lingkungan, lebih baik memaksa kebijakan lingkungan untuk menyesuaikan dengan lembaga yang sudah ada tersebut. Padahal, permasalahan lingkungan seharusnya diselesaikan dengan kebijakan lingkungan, bukan diselesaikan dalam ranah ekonomi maupun politik sehingga bebas dari campur tangan pasar dan negara. Tekanan tersebut membatasi berbagai kemungkinan pertimbangan kebijakan, karena secara global terjadi pemusatan pada aspek politik dan ekonomi yang hanya berfokus pada status konsumsi untuk kepuasan manusia.

Di lain hal, kemunculan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang didasarkan pada tindakan komunikatif merupakan sarana untuk mengidentifikasi dan mengusulkan tindakan yang dapat mengatasi masalah sosial dan lingkungan, tanpa adanya hambatan keterbatasan lembaga, baik berdasarkan pasar atau negara (Habermas, 1996, hal. 381 dalam Brulle, 2010, hal 2). Sehingga tidak perlu upaya skala besar untuk dapat memobilisasi partisipasi masyarakat sipil menuju perubahan sosial. Melalui lembaga sosial, masyarakat seakan-akan memiliki sebuah legitimasi dan otoritas melalui lembaga bentukannya sendiri sehingga suara mereka diakui.

Selain lembaga sosial, sistem simbolik juga berperan dalam pemeliharaan dan perubahan tatanan sosial. Erving Goffman (1974, hal. 21 dalam Brulle, 2010, hal. 2) memperkenalkan sebuah studi mengenai pandangan dunia budaya (cultural worldview) dalam perspektif yang dikenal dengan analisis framing. Ia mendefinisikan frame sebagai “schemata interpretasi” yang membantu aktor mengurangi kompleksitas sosial budaya dalam rangka untuk memahami, menafsirkan dan bertindak dengan cara yang secara sosial diterima. Dengan adanya framing, kita dapat mengenali latar belakang dari suatu lembaga sosial.

Menurut Cahyono (2008, hal. 89), schemata merupakan suatu rangkaian aksi (set of actions) yang tersimpan dalam memori yang dapat di-recall setiap saat dan bekerja secara otomatis pada saat diperlukan. Dengan adanya pandangan kolektif ini, kita dapat menyederhanakan batasan diskusi dan dapat mendefinisikan berbagai masalah yang dapat diatasi karena terdapat praktik beraturan, berupa permainan bahasa dari suatu lembaga kemasyarakatan. Misalnya lembaga sosial Greenpeace, PWI, AJI, WALHI, Komnas HAM, koperasi, posyandu, panti asuhan, dan lain sebagainya. Tiap lembaga sosial memunyai bidang urusannya masing-masing. Itulah yang disebut dengan frame diskursif. Ketika lembaga-lembaga tersebut saling berinteraksi, dapat muncul frame kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun