Persoalan perbedaan etnis dan kepercayaan adalah persoalan klasik di beberapa negara di dunia. Etnis dan perbedaan seakan menjadi penghalang untuk menyatukan sebuah cita-cita bersama dalam satu negara yaitu adil dan sejahtera.
Persoalan ini tercermin pada fenomena Rohingnya di Birma, etnis kulit hitam di beberapa negara dan  terakhir adalah fenomena Palestina di negara Israel. Di point ketiga malah Israel mengesahkan UU bahwa negara itu berlandaskan agama Yahudi, sehingga bisa dikatakan bahwa etnis lain tidak diakui atau dengan kata lain terjadi diskriminasi terhadap kepercayaan lain (non-Yahudi) di Israel.
Padahal jika kita tengok sejarah banyak bangsa di dunia, masalah diskriminasi atau supremasi terhadap etnis sudah mulai ditinggalkan karena dinilai menghambat kebersamaan dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). HAM menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (kemanusiaan) dan mengesampingkan semua perbedaan karena hakekat manusia itu sama. Beberapa negara malah menganggap diskriminasi  adalah kerikil di sepatu sehingga harus dikesampingkan.
Kita bangsa Indonesia pernah mengalami masa dimana pemerintah seakan mendiskriminasi etnis tertentu yaitu Tionghoa (Cina) meskipun di banyak kasus banyak orang China yang berjasa bagi mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ada yang berjuang sebagai tentara, dokter di medan perang, ada yang masuk dalam perkumpulan politik dan ikut merumuskan kemerdekaan Indonesia dll.
Tapi Orde Baru menafikan itu semua. Pada saat itu orang Cina dan anak-anaknya harus berjuang mati-matian untuk memperoleh sekolah dan penghidupan yang baik. Sistem pendidikan dan kepegawaian dirancang sedemikian rupa sehingga sangat sedikit masyarakat China yang memenuhi syarat sehingga mereka banyak sekolah di sekolah swasta dan bekerja menjadi pedagang. Diskriminasi negara pada etnis China saat itu seperti kerikil di sepatu, yang seharusnya tak ada (harusnya tak ada diskriminasi)
Seiring waktu, Orde Baru ambruk dan diganti dengan masa Reformasi. Masa reformasi diwarnai dengan dibukanya demokrasi yang menekankan pada penghargaan atau diakuinya perbedaan termasuk HAM. Di masa itu orang Cina tidak mengalami diskriminasi lagi oleh sistem negara dan bebas untuk menyalurkan pendapat dan bermasyarakat (termasuk sekolah dan pekerjaan).  Diskriminasi itu tak  ada lagi; dengan kata lain kerikil di sepatu bisa dilepaskan.
Dengan menganggap sama semua pihak di Indonesia, kita dapat bersama-sama bergerak maju dan membangun Indonesia dengan semangat persatuan. Kita mampu meninggalkan sentimentasi perbedaan etnis dan kepercayaan. Hak setiap orang dihargai oleh negara dan mereka dapat menyuarakan aspirasi mereka, tak hanya berkecimpung sebagai pedagang tetapi sebagai dosen, sebagai pegawai negeri, sebagai arsitek dll. Kita harus bersyukur untuk itu.
Birma dan Israel adalah dua negara yang belum bisa secara tegas meninggalkan dominasi terhadap etnis dan kepercayaan tertentu. Mensyahan UU Yahudi di Israel membawa konskwensi besar yaitu terdiskriminasinya kepercayaan non Yahudi di tanah Israel. Padahal banyak kaum Palestina yang hidup di negara itu. Pemerintah Israel harusnya banyak belajar dari negara lain soal HAM dan akibat kebijakan diskriminatif negara.