"Udah sih, Ma. Itu saja."
"Masih belum boleh ditengok ya, Kak?"
"Belum, Ma. Udah ngga apa-apa kok. Teman-teman kiki yang dikirimi barang-barang juga cuma sampe gerbang, terus barangnya dititipin ke Pak Satpam."
"Jadi cuma liat-liatan dari jauh, ya?"
"Ya,"
"Kak, barang-barangnya ada yang hilang ga?"
"Ada, Ma. Celana dalam hilang satu."
"Oh ya, ngga apa-apa. Â Mungkin ga hilang, tapi jatuh, terus terbawa angin. Kalau ada masalah-masalah kecil, kiki harus selesaikan sendiri, ya. Sambil belajar. Tidak semua harus diceritakan ke musyrif, ustadz, atau mama. Belajar menyelesaikan masalah sendiri ya, Kak."
"Ya, Ma. Mama do'ain Kiki ya, Ma!" Suaranya sudah sedikit berbeda. Naluri ibu tak bisa dibohongi. Maka, aku pun jadi kaya klepon. Muncrat saat digigit. Yang muncrat pasti banyu mata.
"Ya, Kak. Selalu. Ini ada Papa. Ingat ya, Kak. Berteman sama siapa saja, nurut sama musyrif dan ustadz, jangan melanggar aturan pondok.
"Ya, Ma. Oya, Ma. Di sini ada beberapa teman Kiki yang kena scabies. Kaya kakak Nan dulu."