Tantangan Eksternal
Elemen lain yang mempengaruhi citra mulia profesi advokat muncul pula dari masyarakat dan sistem peradilan kita. Dalam praktik, publik terutama klien sering menafsirkan secara keliru fungsi advokat yang memperjuangkan hak dan kepentingan klien. Fungsi ini ditafsirkan seolah menjadi suatu kewajiban bagi advokat untuk melakukan apapun yang memungkinkannya memenangkan perkara kliennya.
Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Advokat, yang mengatakan bahwa advokat akan bertindak jujur, adil, bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.
Selain persepsi yang keliru, tantangan advokat dalam menjalani perannya datang dari unsur penegak hukum lainnya, misalnya hakim. Kewenangan besar hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, ditambah prosedur kerjanya yang diam, tertutup, dan terlindungi, membuat hakim rawan menyalahgunakan kewenangannya. Cela ini memungkinkan terciptanya transaksi perkara. Â
Peran Organisasi ProfesiÂ
Di tengah lanskap tantangan-tantangan ini, bagaimana PERADI dan organisasi advokat (OA) lainnya terus mendorong bahwa menjadi advokat itu bukan tujuan di dalam dirinya semata, mengemban atribut sebagai advokat saja tidak cukup.
Kontribusi paling penting yang dapat kita berikan sebagai advokat adalah berjuang untuk melestarikan ideal-ideal dari profesi kita, mempromosikan kebebasan, demokrasi, HAM, mengutamakan kebenaran dalam memberi informasi dan mencerahkan masyarakat serta memperjuangkan hak msyarakat untuk menyuarakan kebenaran.
Oleh karena itu, beberapa langkah berikut ini mesti menjadi tugas kepengurusan PERADI ke depan: Pertama, internalisasi profesi sebagai officium nobile, komitmen moral pribadi, tanggung jawab publik dan kode etik mesti ditanamkan secara benar pada saat pendidikan advokat. Kedua, OA menjalankan tugas dan wewenang pengawasan secara sungguh, termasuk pembentukan Dewan Kehormatan profesi di cabang-cabang. Â
Ketiga, agar OA punya persepsi yang sama terkait kode etik, OA yang saat ini berjumlah kurang lebih sepuluh (10) asosiasi mesti sepakat berpegang pada Kode Etik Advokat Indonesia yang sama.
Keempat, OA harus bisa mendorong kerjasama dengan penegak hukum lainnya dalam upaya untuk menyempurnakan penyelenggaraan sistem peradilan (the administration of justice).
Langkah-langkah ini, mudah-mudahan, mampu membimbing advokat untuk tampil sebagai advokat negarawan, advokat yang mengedepankan kualitas karakter, kebijaksanaan di atas kompetensi teknis dan mendorong lahirnya advokat dengan devosi spirit publik hukum yang kuat.