Benarlah dugaan saya. Tak ada satu pun bengkel yang buka di hari Minggu. Sekalipun kami sudah berusaha mendatangi satu demi satu rumah penduduk untuk mengejar tukang yang bersedia membantu memperbaiki kerusakan motor. Tapi hasilnya nihil.
Kembali saya melihat raut muka anak lanang. Murung.
Sementara hujan mulai turun, mengguyur deras tak kepalang tanggung. Kami berteduh beberapa saat di teras rumah pemilik pickup. Sembari memikirkan langkah-langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
Anak lanang duduk di samping saya. Matanya sayu menatap butiran hujan yang luruh. Saya melingkarkan tangan pada pundaknya.
"Beginilah hidup itu, Nak. Kita akan senantiasa dihadapkan pada ujian. Tinggal bagaimana menghadapinya. Mau lanjut atau menyerah? Kalau Mama sih, pantang menyerah! Harus tetap semangat."
Anak lanang masih terpekur diam.
Apa yang saya sampaikan bukan sekadar membesarkan hati. Tapi lebih kepada upaya menunjukkan bagaimana seharusnya seseorang menyikapi 'ujian hidup'. Menjadikannya pelajaran berharga. Pelajaran yang justru tidak pernah ditemukan di bangku sekolah mana pun.
Tentang Kepedulian dan Ikatan Batin
Tujuan semula anak lanang membawa emaknya jalan-jalan adalah untuk refreshing sekaligus mencari ide menulis artikel wisata. Namun apa daya semua tidak sesuai dengan yang direncanakan. Meski demikian saya tetap berpositif thinking. Saya malah bersyukur telah mendapat sesuatu yang 'lain'. Sesuatu yang amat berharga.Â
Bagaimana seorang pencari rumput ikhlas memberi pertolongan. Adalah potret kepedulian terhadap sesama yang masih bisa ditemukan di daerah pedesaan. Saya sempat menyarankan pada anak lanang, agar memberi bapak si tukang rumput itu sedikit 'tip' sebagai ungkapan terima kasih. Anak saya bilang,"Orangnya menolak, Ma."
Saya tercenung. Sejenak teringat bagaimana di kota tempat tinggal saya semua sudah dihargai dengan uang. Tak ada sesuatu pun yang gratis.