Mohon tunggu...
elfahmi
elfahmi Mohon Tunggu... Pemerhati Industri Pertanian

Saya lahir dari keluarga petani disalah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Bengkulu, saya melanjutkan studi di Universitas Brawijaya di bidang Teknologi Pertanian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demi Impresi, abaikan verifikasi: ketika "cuan" di platform medsos menggerus nalar kritis

28 Juli 2025   18:16 Diperbarui: 28 Juli 2025   18:16 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin diantara kita ada yang pernah membuka platform X (yang dulu kita kenal mesra sebagai Twitter) dan langsung disambut oleh sebuah utas (thread) yang judulnya luar biasa heboh? "VIRAL! PEJABAT X TERCIDUK LAKUKAN INI!" atau "GEGER! FAKTA YANG DISEMBUNYIKAN TENTANG KASUS Y TERBONGKAR!" Jari kita gatal untuk tidak mengklik, mata kita penasaran untuk tidak membaca, dan sebelum sadar, kita sudah menekan tombol retweet atau quote tweet dengan tambahan komentar panas, "Wah, parah banget!" atau "Negeri ini sudah rusak!"

Beberapa jam kemudian, atau mungkin esok harinya, muncul klarifikasi. Ternyata berita itu salah konteks. Videonya adalah kejadian lama. Fotonya hasil editan. Narasi yang dibangun sengaja dipelintir untuk memancing amarah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tweet sensasional tadi sudah terlanjur mendapatkan puluhan ribu likes dan jutaan impresi. Si pembuat konten? Mungkin sedang tersenyum sambil mengecek estimasi pendapatan dari program Ads Revenue Sharing X.

Selamat datang di era baru media sosial, sebuah era di mana kebenaran menjadi komoditas nomor dua setelah kecepatan, dan nalar kritis digadaikan demi metrik bernama "impresi". Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi program monetisasi X telah menyuntikkan steroid pada praktik yang sudah mengkhawatirkan ini, mengubah platform diskusi menjadi ladang perburuan cuan yang brutal dan seringkali, abai etika.

Mesin Penghasil Uang Bernama Impresi

Untuk memahami akarnya, kita perlu sedikit mengintip cara kerja monetisasi di X. Sejak diperkenalkan, program Ads Revenue Sharing memungkinkan kreator konten yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bagian dari pendapatan iklan yang ditampilkan di balasan (reply) dari tweet mereka. Syaratnya? Memiliki setidaknya 500 pengikut, centang biru (langganan premium), dan yang terpenting, mencapai jumlah impresi tertentu dalam beberapa bulan terakhir (awalnya 15 juta, lalu diturunkan menjadi 5 juta).

Logika sederhananya begini: semakin banyak orang melihat tweet Anda (impresi), semakin banyak potensi iklan dilihat di kolom balasan, dan semakin besar pula pundi-pundi yang Anda kumpulkan. Sistem ini, di atas kertas, terdengar adil. Ia memberi penghargaan kepada mereka yang berhasil menciptakan konten yang menarik perhatian. Namun, di sinilah letak masalah fundamentalnya: algoritma tidak memiliki moral. Ia tidak bisa membedakan antara impresi yang didapat dari analisis mendalam seorang pakar dengan impresi yang lahir dari sumbu pendek amarah massa akibat berita bohong.

Bagi algoritma, impresi adalah impresi. Engagement adalah engagement. Dan sistem yang hanya memberi penghargaan pada angka mentah ini secara tidak langsung menciptakan insentif yang salah. Kreator konten didorong untuk bertanya, "Konten seperti apa yang paling cepat viral?" bukan "Konten seperti apa yang paling akurat dan bermanfaat?"

Lahirnya "Petani Impresi" dan Taktik Kotornya

Maka, lahirlah kasta baru di ekosistem X: para "petani impresi". Mereka bukanlah jurnalis, bukan pula ahli di bidang tertentu. Mereka adalah pemain game yang cerdik, yang telah memecahkan kode algoritma untuk keuntungan pribadi. Strategi mereka bukanlah membangun kredibilitas jangka panjang, melainkan memanen perhatian jangka pendek dengan segala cara.

Beberapa taktik andalan mereka antara lain:

  1. Jurnalisme "Terabas Aja Dulu": Ini adalah taktik paling berbahaya. Saat sebuah isu atau kejadian meledak, mereka tidak akan menunggu konfirmasi dari media kredibel. Waktu adalah uang. Mereka akan menjadi yang "pertama" mengabarkan, seringkali hanya berbekal tangkapan layar, potongan video tanpa konteks, atau bahkan isu yang beredar di grup WhatsApp. Verifikasi? Itu urusan belakangan. Koreksi? Mungkin akan mereka sematkan kecil-kecil di bawah tweet utama yang sudah viral, atau bahkan tidak sama sekali. Kerusakan sudah terjadi, impresi sudah didapat.

  2. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun