Mohon tunggu...
Elektron Bebas
Elektron Bebas Mohon Tunggu... Ilmuwan - Bukan bot

Seseorang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menelaah Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS (Bagian 1)

30 Oktober 2019   11:17 Diperbarui: 4 November 2019   09:59 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat saya membaca komentar di sebuah forum mengenai berita iuran BPJS yang naik drastis, mata saya berhenti pada sebuah komentar, "Pemerintah makin kapitalis, BPJS makin kapitalis, kxxx adalah solusi.". Wah, saya langsung ingat dulu saat saya ikut ospek S-1 sebagai maba. Syahdan, seorang kakak kelas di fakultas mengajak saya pergi ke kampus lain untuk ikut acara orientasi organisasinya.

Karena saya berniat kuliah sambil have fun dan organisasi ini tampak serius, akhirnya kami cuma sampai pintu depan lalu pulang. Setelahnya kakak kelas itu masih sering menanyakan kami dan mengajak diskusi. Saya ingat salah satu yang dipromosikannya adalah sistem ekonomi Islam dan bagaimana menjadi solusi untuk krisis ekonomi negeri ini dan dunia.

Saya waktu itu baru selesai berkutat dengan buku-buku persiapan SPMB sehingga hanya bisa bertanya balik "Apakah kelebihan sistem ekonomi Islam dibandingkan sistem ekonomi Pancasila?". Jawaban beliau saat itu tidaklah sistematis, mendetail, hanya berkutat pada apa yang akan dicapai dan bukan bagaimana semua itu dicapai. Tapi benarlah diskusi dua orang yang sama-sama tidak tahu niscaya akan dimenangkan yang lebih sok tahu, maka saya saat itu seperti kerbau dicucuk hidungnya.

Tapi ternyata pertanyaan itu cukup kompleks. Saya sekos bersama teman saya yang mengambil Ekonomi Islam, dia mengakui bahwa sulit untuk mencari materi kedua sistem ekonomi tersebut di dalam textbook mainstream ekonomi luar negeri, kecuali sekedar disebutkan sebagai bagian dari ekonomi campuran.

Berada di antara kapitalisme dan sosialisme.  Dan kalau kita mencari di internet, sistem ekonomi Indonesia saat ini berada di posisi mana, lebih bingung lagi, golongan kiri maupun Islam konservatif akan berpendapat bahwa negara ini terlalu kapitalis, sedangkan golongan pengusaha mengeluh bahwa Indonesia terlalu sosialis.

Dalam sebuah masyarakat, yang namanya sarana produksi, sumber daya vital, maupun produk akhir (barang konsumsi) merupakan sumber daya yang terbatas. Sistem ekonomi adalah bagaimana sistem mengatur pembagian sumber daya tersebut. Apakah pembagian itu diserahkan kepada mekanisme pasar (negara kapitalis secara umum menganut ekonomi pasar bebas), atau diatur oleh pemerintah (negara sosialis secara umum menganut ekonomi terencana terpusat).

Misal petani menghasilkan beras, petani sebagai produsen apakah merupakan wirausahawan mandiri, atau pegawai negeri yang digaji negara? Beras sebagai hasil produksi dijual ke pasar atau diambil negara untuk dijual kembali/dibagikan sesuai jatah ke warga? Migas sebagai sumber daya yang vital, dikuasai negara atau menjadi hak milik dari pemilik tanah di permukaannya (Amerika Serikat)? Semua ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Kedua penganut sistem ekonomi tersebut punya argumennya masing-masing. Kapitalisme menawarkan produktivitas yang berasal dari kompetisi, kepemilikan pribadi untuk sarana produksi dan properti, perdagangan yang didasarkan kesukarelaan, dan sistem harga yang diserahkan mekanisme pasar.

Sosialisme mempromosikan kepemilikan sosial untuk sarana produksi dan properti, tidak ada ketimpangan ekonomi dan sosial, pekerjaan untuk semua orang, jaminan sosial kesehatan pendidikan gratis, dan produksi barang sesuai kebutuhan yang direncanakan sehingga tidak sia-sia. Kita bisa melihat jelas campuran keduanya di Indonesia. Intervensi negara ada di banyak bidang, namun tidak sebesar negara sosialis. Di sini pendidikan publik dari dasar hingga menengah atas digratiskan.

Namun diberikan ruang kepada swasta untuk menyediakan pendidikan dengan berbayar. Semua wajib ikut BPJS sebagai jaminan kesehatan universal, namun juga ada asuransi kesehatan swasta. Kebutuhan minimal diberikan negara, namun yang kaya pun diberi keleluasaan. Gini index, yang menunjukkan ketimpangan pendapatan dalam sebuah negara (semakin tinggi semakin timpang), menunjukkan Indonesia di tengah (36.8), di antara Hong Kong (53.9), Amerika Serikat (41.5), Denmark dengan Nordic modelnya (29), sedang estimasi profesor ekonomi di Havana tahun 2000 Kuba (38).

Kalau kita menggunakan pembagian sarana produksi, sumber daya vital, dan produk akhir sebagai patokan, maka kita bisa bayangkan sistem ekonomi sebagai sebuah spektrum imajiner dengan ekonomi pasar dan ekonomi terpusat di dua ujung, dan sistem ekonomi berbagai negara berada di antara keduanya. Dulu prototipe negara sosialis yang paling ujung adalah Uni Soviet, sekarang Kuba, dan negara kapitalis paling ekstrem dari dulu adalah Amerika Serikat.

Alkisah seorang pejabat Uni Soviet semasa perang dingin datang ke Amerika Serikat. Dia datang ke sebuah apotek, dia melihat beberapa rak berjejeran berisi ribuan jenis obat untuk kepala pusing hingga bau nafas. "Luar biasa," dia berdecak, "Bagaimana anda memastikan semua toko menyediakan semua jenis obat ini?" Dia merasa aneh, karena di Soviet petugas pemerintah lah yang harus menentukan dan memastikan setiap apotek menyediakan obat apa, dan setiap pabrik memproduksi obat apa, dan berapa jumlahnya.

Sedang di Amerika, semua tersedia begitu saja di apotek tanpa diatur oleh pemerintah. Di kisah lain, delegasi Amerika yang berangkat ke Kuba mengalami gegar budaya serupa. Mereka mendapat uang saku dari pemerintah Amerika Serikat dan ijin untuk membawa barang asli Kuba kembali senilai 100 dolar.

Mereka berkeliling berbagai toko mencari cerutu Kuba paling murah, hingga beberapa jam kemudian mereka menyerah, semua toko menjualnya dengan harga yang sama. Harga yang ditentukan pemerintah Kuba, dan semua penjaga toko dibayar sama oleh pemerintah tanpa peduli berapa banyak cerutu yang dia jual. Saya sendiri jadi ingat cerita itu waktu ke Natuna, bertualang ke pelabuhan kecil di sisi lain pulau (masih dibangun Bu Susi), dan satu-satunya warung di situ adalah warung nasi Padang. Komite Sentral tidak akan memilih menaruh warung nasi Padang di situ. Benarlah kata Bung Hatta, "Mungkin hanya di bulan yang belum ada restoran Padang." What an epiphany.

Di negara kapitalis yang menganut mekanisme pasar, pembagian barang hasil produksi dilakukan menggunakan harga. Misalnya rumah, perorangan rumah akan diberikan kepada dia yang berani membayar paling tinggi. Atau developer akan menghitung di harga setinggi berapa sekiranya permintaan yang masuk ke dia akan sama dengan jumlah rumah yang dia tawarkan.

Tidak semua orang mampu memberikan tawaran. Di negara sosialis, harga rumah gratis, semua akan mendapat rumah, maka semua orang mengantre, dan pemerintah akan menentukan kapan anda akan mendapatkannya. Di Uni Soviet, pembagian barang hasil produksi yang terbatas seperti rumah dan mobil, dilakukan menggunakan pemesanan/antrean.

Hanya di negara kapitalis harga bisa naik turun sesuai permintaan, sehingga pasar bisa self-correcting, mengubah harganya sesuai permintaan-penawaran yang terjadi, atau menaik turunkan permintaan/penawaran sesuai tinggi rendahnya harga. Bila permintaan mobil meningkat, maka produksinya akan naik (penawaran juga meningkat), bila produksi sudah mencapai batas, maka harga yang akan naik. (Itulah kenapa pertumbuhan ekonomi yang melebihi kapasitas sistem ekonomi mampu menghandle penawaran tambahan yang masuk bisa menyebabkan inflasi).

Ibu saya pernah tanya ke penjahit laris di Bojonegoro sambil bercanda, "Pak, harganya kok naik, padahal harga bensin dan barang-barang nggak naik?" "Nggih Bu, ongkosnya saya naikkan bila orderan masuk sudah lebih banyak dari yang saya mampu, biar berkurang orderannya, saya bisa istirahat cukup lagi." Penjahit ini lebih paham hukum ekonomi daripada saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun