Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY "Tabuh Genderang" Perang pada Moeldoko

6 Maret 2021   11:04 Diperbarui: 6 Maret 2021   11:10 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


SEJARAH perebutan kekuasaan atau pengambialihan paksa kursi pimpinan partai politik yang terjadi pada Partai Demokrat, kemarin, Jumat (5/3/21) memang cukup mengagetkan. Semula isu tersebut hanya dinilai sebagai drama yang sengaja dihembuskan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta kubu pendukung guna menaikan elektabilitas partai dan ketua umumnya. 

Namun ternyata kekhawatiran kubu AHY benar-benar terjadi. Kongres Luar Biasa (KLB) yang digagas oleh mantan para petinggi Partai Demokrat, seperti Jhoni Allen Marbun, Marzuki Alie dan Hengki Luntungan di Deli Serdang, Sumatera Utara menobatkan KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB. 

Terpilihnya Moeldoko sebagai ketua umum tidak mengherankan, sebab sebelumnya kubu AHY memang telah mengendus keterlibatan pejabat tinggi pemerintah tersebut, dan bahkan dengan terang-terangan menudingnya. Namun, tudingan itu kemudian dibantah keras oleh Moeldoko. Semua itu hanya fitnah belaka. 

That,s politik atau inilah politik, tidak bisa ditentukan oleh hitam atau putih. Semuanya samar dan abu-abu. Politik pula tidak bisa saklek menyatakan salah benar, karena apapun bisa terjadi tanpa bisa diprediksi jitu sebelumnya. 

KSP Moeldoko yang dengan begitu keras membantah tudingan kubu AHY, nyatanya fakta bicara lain. Mantan Panglima TNI era kepemimpinan Presiden SBY ini telah sah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang. 

Dengan begitu, sejak Jumat, 5 Maret 2021, Partai Demokrat tidak lagi berdiri sendiri atau dikuasai penuh oleh keluarga Cikeas. Partai yang didirikan pada 9 September 2001 itu kini telah terjadi dualisme kepemimpinan. Yakni kubu AHY dan kubu Moeldoko. 

Belum pasti apa yang bakal terjadi kedepannya. Apakah terjadi saling menyalahkan, membela diri bahwa masing-masing paling benar, memanfaatkan perangkat hukum untuk menyelesaikan sengketa atau bahkan islah. Namun yang pasti, diselenggarakannya KLB Deli Serdang dan Moeldoko keluar sebagai ketua umumnya membuat SBY, sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat kubu AHY, geram dan kecewa. 

Sebagaimana banyak disiarkan oleh beberapa televisi nasional, maupun berseliweran di beberapa chanel youtube, SBY langsung menggelar jumpa pers. Pada kesempatan itu, dia dengan tegas mengajak seluruh kader untuk berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemandirian partai. Presiden ke-enam RI ini mengibaratkan kisruh yang terjadi di internal partai berlambang mercy sebagai peperangan. 

"Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. Sebuah war of necessity. Sebuah justice war, perang untuk mendapatkan keadilan," kata SBY dalam konferensi pers, Jumat (5/3) malam. Dikutip dari CNN Indonesia. 

Kemudian, SBY pun membongkar kelemahan-kelemahan KLB Deli Serdang yang menurutnya tidak sah dan abal-abal, karena tidak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat. SBY menyebut, Moeldoko telah tega dan berdarah dingin melakukan kudeta. 

SBY juga mengatakan, tindakan Moeldoko tidak terpuji dan jauh dari sikap ksatria. Sikap tersebut hanya mendatangkan rasa malu bagi perwira yang pernah menjadi prajurit TNI. Bahkan, SBY juga merasa malu pernah memberikan sejumlah jabatan penting saat dirinya masih menjadi presiden. 

"Termasuk rasa malu, dan rasa bersalah saya, yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya mohon ampun ke hadirat Allah SWT," kata SBY. 

Berlebihankah sikap SBY? jawabannya tentu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. 

Dilihat dari sudut pandang politik, apa yang terjadi pada internal Partai Demokrat adalah sebuah keniscayaan, dan biasa terjadi di percaturan politik tanah air. Partai Demokrat bukanlah partai politik pertama yang mengalami kisruh internal hingga terjadi dualisme kepemimpinan. Sebelumnya hal ini pernah terjadi pada Partai Golkar, dimana kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono saling berhadapan. 

Kemudian dualisme kepemimpinan juga sempat terjadi pula pada tubuh PPP. Kala itu, partai berlambang Kabah ini masing-masing dipimpin oleh Djan Faridz dan Romy Romahurmuzy. Bahkan, terakhir juga terjadi pada tubuh Partai Berkarya, dimana kursi kepemimpinan Tommy Soeharto juga sempat direbut oleh Muhdy PR, sebelum akhirnya posisi ketua umum partai dikembalikan lagi pada pangeran cendana. 

Merujuk pada beberapa contoh peristiwa kisruh partai politik di atas, sikap SBY boleh jadi berlebihan. SBY tidak harus merengek dan mengobral apa yang terjadi kepada publik. Dia cukup melakukan konsolidasi ke dalam dan memperkokoh kubu partainya untuk kemudian melakukan perlawanan. Baik melalui proses gugatan PTUN atau mungkin dengan cara-cara lain. 

Namun, bila dilihat dari sudut pandang kepatutan dan "balas budi", boleh jadi kekecewaan SBY terhadap Moeldoko ada wajarnya. Dia merasa pernah membesarkan namanya dengan memberikan sejumlah jabatan strategis di kemiliteran, namun dibalas dengan kudeta. Atau, istilahnya air susu dibalas air tuba. 

Lagi-lagi ini politik. Demi merebut atau memperjuangkan kepentingan, apapun dilabrak, tanpa harus mengindahkan kawan atau lawan.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun