Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY dan Mega dalam Pusaran Drama Kudeta

9 Februari 2021   17:02 Diperbarui: 9 Februari 2021   17:07 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


DRAMA kudeta kursi kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat mampu memanaskan tensi politik tanah air. Satu pihak menuduh dan menyerang, sedangkan pihak lain coba bertahan, sembari mewanti-wanti agar jangan sampai tuduhan tersebut menjurus fitnah. 

Pihak penuduh sudah jelas datang dari internal Partai Demokrat. Ketua umum, petinggi partai hingga kader-kader lainnya ramai-ramai menempatkan diri sebagai pihak yang tertindas dan serempak menyalahkan sejumlah nama sebagai otak rencana kudeta. Diantara sekian nama yang disebut, ada nama dari kelompok istana. Dia adalah Kepasa Staf Kepresidenan (KSP), Jendral (Purn) Moeldoko. 

Moeldoko lah yang akhirnya membuat situasi kian memanas. Mantan Panglima TNI ini dianggap hendak mengambilalih kekuasaan Partai Demokrat atas seizin Presiden Jokowi dan beberapa menteri lainnya. Maksudnya demi bisa memiliki kendaraan politik pada Pilpres 2024. 

Meski disudutkan dengan beberapa pernyataan pihak Partai Demokrat yang katanya memiliki bukti-bukti kuat, Moeldoko tidak gampang menyerah. Dia membantah keras tuduhan tersebut, bahkan balik memperingatkan AHY. Kata Moeldoko, AHY jangan gampang menyebut-nyebut istana dan AHY juga jangan pernah ganggu Presiden Jokowi. Karena, orang nomor satu di Indonesia ini tidak tahu apa-apa. 

Atas perseteruan tersebut, opini publik akhirnya mengarah pada AHY. Putra sulung Soesilo Bambang Yudhoyono itu anggap belum matang sebagai pimpinan partai. AHY juga dianggap gampang baper. 

Lumrah bila anggapan itu muncul di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, AHY begitu tampak khawatir dengan konflik internal di tubuh partainya. Dia langsung menggelar konferensi pers dan mengumumkan bahwa ada sebuah gerakan yang hendak mengambilalih kekuasaannya di partai berlambang mercy dimaksud. 

Padahal, menurut beberapa kalangan meski ada gerakan-gerakan mengancam kedaulatannya, AHY tidak perlu berkoar keluar, cukup dengan konsolidasi dan menguatkan komitmen para kader partainya. Lagipula, upaya pengambilalihan kursi pimpinan sebuah partai politik tidak gampang. Ada mekanisme-mekanisme panjang yang harus ditempuh. Misal, pihak yang hendak mengkudeta harus merupakan kader partai, kemudian mesti melalui jalur kongres luar biasa (KLB). 

Nah, khusus untuk Partai Demokrat, proses KLB sepertinya hampir mustahil, mengingat orang yang memiliki kewenangan untuk mengizinkan KLB adalah SBY. Sementara kita tahu, dia adalah ayah kandungnya AHY sendiri. Maka, tidak mungkin rasanya seorang ayah hendak menggoyang posisi anaknya. 

Alasan lain AHY dianggap gampang baper dan belum kuat menahan segala masalah politik adalah bahwa peristiwa atau drama kudeta dalam sebuah partai politik bukan barang baru terjadi di tanah air. Sebelumnya pernah menimpa partai lain, namun mereka mampu menyelesaikannya dengan baik, tanpa harus curhat terhadap masyarakat. 

Peristiwa upaya kudeta itu terjadi pada Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) oleh Soerjadi, tahun 1996 silam. 

Mega---nama kecil Megawati Soekarnoputri mulai berkibar namanya pada kancah politik nasional setelah didapuk sebagai Ketua Umum PDI pada tahun 1993. Dengan slogan partai wong cilik, trah Sukarno ini langsung banyak mendapat simpati rakyat tanah air. 

Nah, sepertinya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tidak begitu menyukai popularitas Megawati yang banyak dielu-elukan publik tanah air, khususnya masyarakat bawah. Berdasarkan beberapa sumber bacaan, penguasa orde baru ini merasa khawatir kalau Megawati yang kala itu dinilai sebagai simbol perlawanan kian besar namanya. Maka, entah bagaimana caranya pada tahun 1996 kekuasaan Megawati didongkel oleh pemerintah, melalui KLB Medan. Sebagai penggantinya adalah Soerjadi. 

Mega tidak tinggal diam. dikutip dari Sindonews.com, Rekayasa pemerintahan Orde Baru menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Klimaksnya terjadi pada 27 Juli 1996. Pemerintah melalui tangan Soerjadi melakukan perebutan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, dari pendukung Megawati. 

Peristiwa ini kemudian meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. Peristiwa pada tanggal 27 Juli itu kemudian dikenal dengan istilah Kudatuli, yang merupakan akronim dari "kerusuhan 27 Juli". 

Akibat dari peristiwa kelam tersebut, pada tahun 1997 PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Dan, Megawati pun kokoh menjadi ketua umumnya hingga sekarang. 

Merujuk pada peristiwa yang dialami PDI atau PDIP, apa yang menimpa Partai Demokrat tentu saja tidak ada apa-apanya. Tidak ada bentrok fisik, atau upaya pengambilalihan paksa. Semua yang terjadi baru wacana, dan masih membutuhkan bukti-bukti kuat. 

Satu hal lagi, meski peristiwa kudeta PDI tahun 1996 konon katanya melibatkan pihak pemerintah, namun figur yang menggusurnya jelas-jelas kader partai dan juga mantan ketua umum. Tidak seperti Moeldoko yang sama sekali tidak tercatat sebagai kader. Jangankan pengurus, anggota pun bukan. 

Untuk itu, sedianya AHY memang berlaku tenang. Daripada harus curhat, mendingan perkokoh soliditas partainya sendiri. Jangan buat celah dirinya bisa digoyang oleh kadernya sendiri. Begitulah kira-kira.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun