Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jabatan Tinggi Dijamin Bahagia? Belum Tentu!

19 Januari 2020   19:51 Diperbarui: 19 Januari 2020   19:52 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

APA yang akan penulis bagikan dalam ulasan ini mungkin klise atau bahkan usang. Yakni, tentang apakah jabatan tinggi berbanding lurus dengan kebahagiaan seseorang?

Jawabannya tentu saja tidak akan mutlak. Karena masing-masing dari kita tentunya memiliki presepsi berbeda dalam memandang suatu jabatan atau kedudukan.

Bisa jadi bagi sebagian banyak pihak, jabatan tinggi adalah puncak dari segala perjuangannya dalam meniti karir, hingga seolah dunia ada ditelapak tangannya alias segala sumber kebahagiaan berada pada dirinya.

Tapi, tidak sedikit pula yang justeru ketika diberi kepercayaan jabatan tinggi, malah menjadi beban dan terbelenggu.

Itu kenapa di awal, penulis mengatakan, bahwa jawaban tentang jabatan yang terkoneksi dengan kebahagaian, jawabannya tidak mutlak.

Kendati demikian, penulis akan mencoba mengulik sedikit pengalaman salah seorang pejabat tinggi di Kabupaten Sumedang. Kebetulan, pejabat ini cukup akrab dengan penulis, sejak dia masih merangkak dari bawah.

Maaf, dalam hal ini penulis tidak akan menyebut nama aslinya. Tentu saja untuk menjaga privasi dirinya. Sebut saja, pejabat ini namanya Pulan.

Penulis masih ingat betul, saat Pulan masih berada di posisi eselon IV A sekitar sembilan tahun lalu atau setingkat Kepala Seksie dalam lingkup pemerintahan kabupaten (Pemkab). Dia selalu berkeinginan kuat untuk bisa naik jabatan.

Dia sering menceritakan keinginannya tersebut, tat kala kita berdua berkesempatan bertatap muka. Suatu keinginan yang sangat wajar menurut penulis.

Rupanya, karena keinginan kuatnya ini, Pulan terus memperlihatkan etos kerja serta dedikasi tinggi terhadap pekerjaan dan atasannya. 

Sehingga akhirnya Kepala Daerah yang kala itu masih dijabat oleh DM (nama inisial) memberikan kepercayaan pada Pulan untuk memimpin sebuah kecamatan. Otomatis, eselonnya pun naik menjadi III A.

Apakah dia puas? Tidak. Pulan terus bermimpi memperbaiki posisinya. Hingga akhirnya, setelah beberapa tahun dilewati. Pada Oktober 2019 lalu, Pulan berhasil naik menjadi seorang Kepala Dinas atau setingkat eselon II B.

Posisi ini hanya kalah oleh jabatan Sekretaris daerah (Sekda) sebagai jabatan karir tertinggi di tataran pemerintahan daerah untuk lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena jabatan pimpinan daerah adalah jabatan politik.

Awal-awal ditunjuk menjadi seorang kepala dinas, Pulan tampak sumringah. Penulis pun beberapa kali diundang untuk merayakan keberhasilannya ini. Ada rasa bangga, rasa puas, dan rasa bahahia terpancar di wajahnya.

Tapi, itu hanya berlaku pada bulan pertama sejak dia  naik jabatan. Bulan berikutnya, mulai ada keluh kesah dan sedikit menyesal.

Kenapa? Karena semenjak diangkat menjadi seorang kepala dinas, menurutnya ada beberapa poin penting yang seolah hilang dalam dirinya.

Pulan mulai menyadari, jabatan dan penghasilan meningkat tentu saja disesuaikan dengan kedudukannya sekarang tidak bisa menjamin hidupnya bahagia dan rumah tangganya harmonis.

Maaf, bukan bermasud untuk jadi tukang gosip, apalagi berniat menyaingi Lambe Turah, semenjak posisi naik, Pulan justeru lebih sering cekcok dengan isterinya. Dan, ini sangat mengganggu sekali pikirannya.

Diakui Pulan, setidaknya ada tiga hal yang hilang dalam dirinya semenjak menduduki kursi kepala dinas.

Pertama adalah sudah barang tentu beban pekerjaan dan tanggung jawab jauh lebih meningkat.

Dengan setumpuk pekerjaan dan tanggung jawab besar sebagai seorang pimpinan, tak jarang dia harus pulang larut malam dan mengorbankan segala hobby-nya di luar jam kantor. Padahal, Hobby-nya itu adalah sarana dia untuk menyegarkan kembali pikiran dari segala beban dan penat.

Kedua, karena kesibukan dan tanggung jawabnya yang tinggi sebagai pimpinan, Pulan harus bisa menjaga sikap agar bisa dihormati dan disegani anak buahnya.

Namun, dengan begitu, Pulan pun terpaksa harus kehilangan hal-hal indah yang biasanya sering dirasakan bersama dengan kolega-kolega di kantornya. Seperti send gurau atau hal lainnya.

Ketiga, kembali akibat kesibukan dan beban kerjaan yang menumpuk serta loyalitas yang harus ditunjukan pada pimpinan daerah, membuat Pulan sering kali tidak bisa mengatur waktu buat keluarga.

Dampak dari jabatan yang didudukinya sekarang, Pulan seringkali melakukan kunjungan kerja ke luar daerah hingga beberapa hari lamanya. Sekalipun tidak keluar daerah, waktu pulang banyak dihabiskan di kantor.

Namun, karena semua itu adalah resiko jabatan yang selama ini dia impikan, Pulan pun harus siap dengan segala resikonya. Ya, ketika dia mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dengan otomatis Pulan pun harus siap kehilangan hal-hal lainnya.

Jadi, menurut penulis, mengejar jabatan atau kedudukan itu perlu. Agar, diri kita terus dipacu dan dimotivasi untuk terus bekerja keras dan terus menjadi lebih baik. Tapi, hal itu saja tidak cukup. Disamping bekerja keras dan memacu diri lebih baik, juga persiapkan mental.

Hal ini tentu saja untuk menjaga agar kita tidak cepat down ketika dihadapkan pada beban pekerjaan dan tanggung jawab yang jauh lebih sulit dan lebih menantang.

Wassallam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun