Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

esai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Monolog Kursi: Syamsu Soeid Sebagai Simbol Kedudukan dan Falsafah Jawa

9 Februari 2024   22:34 Diperbarui: 9 Februari 2024   22:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Eko Windarto

Syamsu Soeid sebagai kordinator humas SATUPENA Jawa Timur tanggal 11 Februari 2024 akan perfomance art monolog KURSI bekerjasama dengan kordinator SATUPENA Jawa Timur: Drs. Akaha Taufan Aminudin yang akan digelar di Raos Pondok Seni Kota Batu jalan. Panglima Sudirman 6. Monggo, rekan-rekan yang mau datang untuk mengisi jiwa dan raga.

Kursi biasa dipandang sebagai perabotan rumah tangga yang sangat penting, karena fungsinya adalah untuk duduk. Namun, kursi sebetulnya juga memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar benda fisik, yaitu sebagai simbol kedudukan dan falsafah Jawa. Bagi masyarakat Jawa, kursi bukan sekedar alat tempat duduk tetapi juga memiliki makna yang kaya.

Kursi sering dilihat sebagai simbol kedudukan dalam budaya masyarakat Jawa. Posisi duduk pada kursi menentukan kedudukan yang lebih tinggi dalam strata sosial. Sebagai contoh, kursi dengan bantalan yang lebih besar dan lebih lebar biasanya digunakan oleh orang yang memiliki status yang tinggi, seperti kepala desa atau kepala suku. Ini karena kursi tersebut melambangkan kekuasaan dan posisi dalam hierarki sosial. Kursi juga sering digunakan pada upacara-upacara adat seperti pernikahan atau acara keluarga lainnya dengan maksud untuk menunjukkan kedudukan keluarga atau tamu tersebut.

Di dalam falsafah Jawa, kursi memiliki banyak makna yang terkait dengan kehidupan dan keseimbangan. Dalam kosmologi Jawa, kursi melambangkan pengendali dunia dan bagian dari alam semesta yang dikuasai oleh para dewa. Penggunaan kursi dalam upacara adat memiliki makna bahwa orang yang duduk pada kursi tersebut berada dalam hubungan yang erat dengan dunia roh. Selain itu, dalam pandangan Jawa, kursi melambangkan keseimbangan antara tubuh dan roh seseorang. Oleh karena itu, kursi biasa digunakan oleh orang yang ingin menenangkan pikiran dan mencapai keseimbangan tubuh dan jiwa.

Kursi bukan hanya sebagai perabotan rumah tangga yang digunakan untuk duduk, tetapi juga benda yang penuh makna dalam budaya masyarakat Jawa. Kursi memiliki makna sebagai simbol kedudukan dan falsafah Jawa yang terkait dengan hubungan sosial dan keseimbangan tubuh dan roh. Semua makna tersebut memberikan penjelasan tentang bagaimana kursi melambangkan kedudukan sosial dan bagaimana peran kursi dalam mencapai keseimbangan antara tubuh dan roh. Oleh karena itu, kursi adalah benda yang sangat penting dalam budaya masyarakat Jawa dan memegang peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Monolog Kursi sebagai Metafora Tak Kasat Mata dalam Falsafah Jawa

Masyarakat Jawa dikenal sebagai orang yang sangat kaya akan kebudayaan dan tradisi. Salah satu pandangan dalam kebudayaan dan tradisi Jawa adalah tentang berbagai hal yang tak kasat mata, termasuk pandangan tentang kursi. Menurut falsafah Jawa, kursi tidak hanya sebagai alat untuk duduk, tetapi juga sebagai metafora yang melambangkan keseimbangan antara tubuh dan roh.

Dalam pandangan falsafah Jawa, kursi dipandang sebagai metafora tak kasat mata yang melambangkan kehidupan. Kursi diibaratkan sebagai bentuk keseimbangan antara tubuh dan roh, karena kursi yang baik membuat kita merasa nyaman pada saat duduk dan menjaga keseimbangan tubuh kita. Dalam keseharian, kursi juga melambangkan tempat kita berpijak, tempat kita beristirahat dan memenuhi kebutuhan fisik kita, sekaligus menyehatkan jiwa kita.

Baca juga: Di Depan Rumah

Tak dapat disangkal, ketika kita menyadari pandangan falsafah Jawa tentang kursi, kita akan lebih memperhatikan kualitas kursi yang kita gunakan. Dalam keseharian, kualitas kursi yang baik dapat membuat tubuh menjadi lebih sehat dan otomatis keseimbangan tubuh dan roh menjadi lebih terjaga. Kurangnya keseimbangan antara tubuh dan roh seringkali menjadi penyebab stres atau depresi, oleh karena itu, kesadaran kita terhadap kursi yang kita gunakan dapat membantu kita memperbaiki keseimbangan ini.

Dalam pandangan falsafah Jawa, kursi bukan hanya sekadar sebuah benda fisik, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam terkait dengan keseimbangan tubuh dan roh. Kursi dipandang sebagai metafora tak kasat mata yang melambangkan kehidupan. Dalam keseharian, kesadaran kita terhadap kursi dapat membantu kita memperbaiki keseimbangan antara tubuh dan roh, sehingga membantu kita meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko terkena gangguan yang dapat mempengaruhi kesehatan kita. Oleh karena itu, sebagai masyarakat kita perlu memahami betapa pentingnya kursi sebagai metafora tak kasat mata dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun