Mohon tunggu...
Eko Wardany
Eko Wardany Mohon Tunggu... Lainnya - Student

Hello. My name is Eko Dimas Setyo Wardany, and you can call me Dan or Dimas. I live in Jakarta, Indonesia. I'm a Graphic Designer and Video Editor, with 3 years experience, also a creative, intuitive, and persuasive person. As an ENTP, my advantages is: - More prefer to communication with speaking face-to-face; - Learn more optimal with contribution, disputation, imagination, and Innovation; - Objectively balance the pros and cons of a solution; - Consider the logical consequences of a decision. And my weaknesses is: - Can't work with quiet situation; - Can't work with sequential routines and assignments; - Less sensitive to details. Since i was young, i like to make/assemble gadgets and other mechanical things. Even now, i still dedicate my time to innovate anything. In addition, i easily bored with structured and routined activities. In other hand, by discussing and debating, i will be able to understand or find information and makes the project that being studied is more challenging.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nepotisme Terselubung dalam Kekuasaan dan Birokrasi di Provinsi Banten

24 November 2020   11:06 Diperbarui: 24 November 2020   21:16 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis Oleh: Eko Dimas Setyo Wardany

Di Indonesia, reformasi birokrasi merupakan bagian dari reformasi menyeluruh di bidang ekonomi, politik, hukum, agama, dan sosial budaya, yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat. Max Weber berpendapat bahwa birokrasi memiliki beberapa ciri, salah satunya adalah impersonal, yaitu tidak mengakui adanya hubungan saudara, pertemanan, dan pernikahan, karena model hubungan tersebut sering kali tidak didasarkan pada rasionalitas dan kapabilitas individu. 

Namun, hal tersebut berlawanan dengan apa yang sedang terjadi pada birokrasi di provinsi Banten. Pasalnya, Nepotisme terjadi lagi dan kali ini dilakukan oleh mantan Gubernur provinsi Banten. Mantan Gubernur Banten yang pernah tersangkut kasus korupsi alat kesehatan, Ratu Atut Chosiyah, memberikan jabatan strategis ke beberapa anggota keluarganya, yakni anak pertamanya, Andika Hazrumy, yang menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022 dengan Wakilnya, Wahidin Halim. dia pernah menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar sebelumnya. Lalu anak keduanya, Andiara Aprilia menjadi Wakil Ketua DPRD Banten. 

Tak hanya anak-anaknya, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, juga pernah menduduki jabatan strategis, yakni Wali Kota Serang periode 2013-2018 dan menggunakan Partai Golkar sebagai alat untuk menduduki jabatan kepala daerah. Meskipun jabatannya akan berakhir tahun ini, Ia tetap akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar. Bahkan, menantu Ratu Atut Chosiyah pun ikut memeriahkan Acara Keluarga ini, yaitu Tanto W Arban, suami dari Andiara Aprilia, yang menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang, serta Ade Rosi Khairunnisa, istri dari Andika Hazrumy, yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Banten.

Tak hanya itu saja, di kota Tangerang Selatan, Pilar Saga Ichsan resmi diusung Partai Golkar sebagai bakal calon Walikota Tangerang Selatan mendampingi Benyamin Davnie. Pilar adalah anak dari Ratu Tatu Chasanah, Bupati Serang, dan keponakan dari Airi Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan. Ia juga adalah sepupu Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, yakni anak pertama Ratu Atut Chosiyah.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), mengatakan bahwa nepotisme rawan penyimpangan. Ketika nepotisme merajalela, kekuasaan demokratis tidak lagi muncul, karena kekuasaan hanya ada di antara segelintir orang yang memiliki hubungan kerabat. Sementara itu, demokrasi merupakan sarana untuk menyebarkan dan mengubah kekuasaan secara kompetitif, jujur, substantif, dan tegak. “Penguasa yang masih berkuasa memiliki peluang besar untuk membantu calon kerabat, anak, saudara, dan pasangan agar menang dengan cara apa pun,” tutur Adnan, dilansir dari Kompas, Kamis (23/7/2020).

Birokrasi di Indonesia, khususnya di Banten, memang belum sepenuhnya sehat karena masih banyaknya permasalahan yang terkait dengan birokrasi, seperti pengangguran yang disebabkan pembagian kerja yang tidak jelas, ketidakpastian “Janji” yang berujung minim transparansi, dan masih banyaknya calo atau pungli, hingga terjadinya nepotisme di beberapa Birokrasi. Namun, permasalahan utama yang sedang terjadi sekarang ini adalah nepotisme dalam birokrasi, yang dulu pernah terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto hingga saat ini dilarang. Bangsa Indonesia, khususnya provinsi Banten, pasti tidak akan mengalami permasalahan yang terkait dengan birokrasi apabila para birokrat tahu bahwa nepotisme adalah suatu hal yang buruk dan akan berdampak pada rusak dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi di Indonesia.

Nepotisme pada dasarnya berlaku untuk keadaan yang sangat khusus, dalam hal ini, seseorang biasanya menggunakan posisinya untuk mencari keuntungan dengan bekerja untuk anggota keluarga. Oleh karena itu, nepotisme dilarang. Tujuan pelarangan ini bukan untuk mencegah anggota keluarga untuk bekerja bersama, tetapi untuk mencegah para anggota pegawai negeri terlebih dahulu mengutamakan anggota keluarga bekerja dan berwewenang secara subjektif, dengan embel-embel “atas nama publik”. Atau dengan kata lain, nepotisme di sektor publik berarti calon pegawai, yang memenuhi syarat, tidak akan mendapat jabatan atau promosi, melainkan mereka yang memiliki relasilah yang bisa mendapatkan jabatan atau promosi. Artinya, hal tersebut mengabaikan nilai atau kontradiksi dengan karakteristik birokrasi modern yang dikemukakan oleh Weber sebelumnya.

Pakar hukum senior, JE Sahetapy, mengatakan bahwa nepotisme tidak selalu buruk. Dia berkata: "Nepotisme tidak selalu buruk, tergantung pada cara atau bagaimana Anda melihatnya dan budaya setiap masing-masing negara yang ada di dunia." Meskipun begitu, Wayan Sudirta, Anggota DPD RI yang juga veteran hukum, menambahkan bahwa nepotisme di Indonesia memang merupakan persoalan yang tidak bisa dihilangkan. Nepotisme di badan legislatif juga menjadi masalah umum tidak hanya di kalangan eksekutif. Menurut data yang diberikan Wayan, 42 persen anggota DPR berasal dari keluarga pengurus parpol. Dia berkata: "Ini menunjukkan bahwa nepotisme belum sepenuhnya hilang," dilansir dari InvestorDaily, Selasa (5/7/2011).

Walaupun begitu, kita harus tetap waspada karena ada kemungkinan yang besar bahwa nepotisme akan memberikan dampak yang buruk pada bangsa Indonesia. Pasalnya apabila karakteristik pribadi dan karakteristik birokrasi yang berinteraksi terpenuhi, perilaku birokrasi (birokrat) akan baik, begitu pun sebaliknya, kecelakaan akan terjadi pada perilaku birokrasi, bahkan penyakit akan terjadi di dalam birokrasi jika karakteristik pribadi dan birokrasi tidak terpenuhi. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik, pemerintah Indonesia (pemerintah pusat maupun daerah) membutuhkan reformasi birokrasi besar-besaran segera, tidak hanya pada level komitmen yang didasarkan pada omong kosong belaka, tetapi juga dalam kehidupan nyata, serta action yang ditujukan kepada pelaku nepotisme haruslah tegas. Hal ini diharapkan dapat mengurangi penyakit di birokrasi, yakni Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akibat manajemen yang buruk, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya tentang birokrasi di provinsi Banten.

*penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun