Mohon tunggu...
Eko Romeo Yudiono
Eko Romeo Yudiono Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis itu Indah

Menulislah karena dengan menulis kamu akan belajar mensyukuri nikmat Allah SWT. Dengan menulis kita juga akan menyadari bahwa pengetahuan kita sesungguhnya ibarat setetes air di lautan bila dibandingkan dengan keangungan Allah SWT. Wallahu A'lam Bishawab.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marni dan Nostalgia Semu

11 Oktober 2018   19:16 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:26 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebatang rokok kretek itu dihisapnya dalam-dalam. Kepulan asapnya tebal, putih, terbang kemudian membubung ke angkasa lalu menghilang. Kopi di samping meja bundar itu mulai dingin. Tapi Agus membiarkannya. 

Angannya masih melayang bersama kepulang asap rokok. Sedetik kemudian Agus membuka HP-nya. Sebuah pesan dari WhatApss membuatnya menatap layar HP dalam-dalam. Ia lalu menghela nafas. "Marni, kenapa baru kali ini engkau mengirimkan pesan untukku," gumam Agus.

Pikiran Agus melayang dan menembus waktu 10 tahun silam. Saat itu, Agus baru saja memulai karirnya sebagai design grafis di sebuah kantor di kawasan Kemang. Kinerjanya yang bagus membuat pimpinan di perusahaannya kagum. Apalagi, Agus dikenal rajin dan tidak banyak menuntut. Agus yang ringan tangan membuat rekn-rekan kantornya respect dan banyak yang menaruh simpati. Termasuk Putri, rekan sekantor Agus di bagian keuangan. Dari mulai mengajak makan siang bareng dan mengantarnya ke tempat kos di kawasan Pasar Minggu, benih-benih cinta keduanya tumbuh.

Agus dan Putri pun akhirnya menjadi sepasang kekasih. Hanya setahun bagi Agus dan Putri untuk memutuskan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Keduanya pun akhirnya menikah, tentu dengan konsekwensi yang harus diterima keduanya. Peraturan perusahaan yang tidak memperbolehkan sesama karyawan menikah membuat Agus memutuskan untuk resign dan mencari tempat kerja baru.

Tidak sulit bagi Agus untuk mendapatkannya. Sebab, keahlian Agus sudah tersebar ke seantero perusahaan di kawasan Jakarta Selatan. Dia pun diterima di PT Maju Karena Bisa di kawasan Duren Tiga. Tidak terasa, usia perkawinan Agus akan memasuki tahun ke-11. Dua bocah lucu, Dybala dan  Andriyani adalah bonus pernikahan mereka. Kehidupan Agus dan Putri bisa dibilang sangat harmonis. Kerja keras mereka juga membuahkan rumah di kawasan Bekasi.

Dalam lamunannya Agus tersentak. Dia kembali mendapatkan pesan dari Marni, kekasih lamanya di Kebumen, kampung halamannya. Senyum kecil terlihat di bibir Agus yang menghitam karena nikotin. Senyum kecil namun mengundang sejuta tanya.  Kisah cintanya dengan Marni begitu membekas dalam benaknya. Sebab, dia adalah kekasih pertamanya. Perempuan sintal berkulit kuning langsat yang meluluhlantakkan jiwanya hingga kini.

 Banyak kenangan manis bersama Marni. Mulai dari kegiatan remaja masjid, karang taruna dll. Tapi, Agus terpaksa meninggalkan Marni karena dia dijodohkan dengan Baron,  tuan tanah yang usianya terpaut 12 tahun.

Awalnya berat meninggalkan Marni. Tapi, Agus tidak mau terkungkung. Meratapi kisah cintanya yang kandas bak kapal dihempas gelombang lalu karam. Ia lalu memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Kota sejuta impian dan harapan dimana mimpi-mimpi bisa saja terwujudkan.

 "Ah, kenapa Marni tiba-tiba mengubungi ku lagi ya," tanya Agus dalam hati. Meski sudah beristri dan mempunyai dua anak, Agus memang tidak bisa melupakan begitu saja romansanya dengan Marni. Ia juga tidak bisa membohongi hati nuraninya yang merindukan Marni.

Menyusuri sawah, bermain di kali, berteduh di gubuk ketika hujan adalah sekelumit kenangan yang sulit dilupakan dan enggan terlupakan. Detik demi detik berlalu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.05. Agus masih berkutat dengan lamunannya. Kantor sudah sepi. Bahkan, Salim Office Boy yang dikenal paling akhir meninggalkan kantor juga tidak nampak batang hidungnya. 

Agus lalu menghela nafas dalam-dalam. Ia lalu kembali menghisap rokok krete knya sembari melirik bungkus kuning kecoklatan itu. Satu-dua hisapan, Agus kemudian menatap pohon akasia yang beradu dengan angin. Dingin mulai menyeruak. Angin malam menebarkan suasana kehampaan. Menusuk tulang dan badan Agus yang tidak berjaket. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun