Sejak mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, kita sudah terbiasa mendapatkan materi Pendidikan Kewarganegaraan atau Pancasila tentang nasionalisme dan pengabdian atau rela berkorban untuk agama, bangsa dan negara. Namun pada masa saya duduk di bangku Sekolah Dasar (tahun 2000), Pendidikan Kewarganegaraan atau Pancasila masih terbatas hanya mata pelajaran yang disampaikan di kelas, tidak pada tahap diajarkan mengimplementasikannya oleh siswa. Bahkan hingga masa perkuliahan S1 semeseter 1 tetap mendapatkan mata pelajaran (mata kuliah) Kewarganegaraan, isinya tetap sama, mengajarkan tentang nasionalisme, pengabadian, atau lainnya.
Akan tetapi, ada sedikit perubahan drastis ketika masa-masa perkuliahan, dimana kita terbiasa untuk mememaksimalkan daya nalar dan kritis untuk menganalisa keadaan lingkungan sekitar yang tidak sedang baik-baik saja. Misal: mahasiswa yang aktif berorganisasi dituntun untuk mengasah kepekaan sosialnya, yaitu menumbuhkan sikap simpati dan empati terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain. Mahasiswa organisatoris di-didik untuk menjadi manusia-manusia sosial, minimal jiwa sosial kelak akan tumbuh subur ketika benar-benar terjun hidup bermasyarakat. Jadi tidak melulu dicekoki pikiran-pikiran "setelah kamu lulus harus jadi PNS,...setelah kamu lulus harus kerja di pabrik,...setelah kamu lulus harus punya gaji besar" dan tuntutan-tuntutan lainnya yang dianggap lumrah, dan menganggap bahwa perguruan tinggi adalah pabrik untuk menciptakan manusia-manusia robot, bukan manusia yang bisa berpikir-berempati-bersimpati, dan jenis kepedulian lainnya terhadap sesama.Â
Perubahan itu semakin drastis dan positif, ketika penulis mengenyam pendidikan S2 di UIN Maulana Malik Ibrahim dan berkesempatan sambil mondok di Pesantren Kanzun Najah Kota Batu-Jawa Timur. Perpaduan asupan giji antara penalaran-kritis mahasiswa dengan ilmu-ilmu kepesantrenan, ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna, minimal cukup untuk menjadi bekal diri menjadi manusia bermanfaat dalam  mengarungi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Selain ilmu-ilmu yang diperoleh di kampus dan pesantren, ada ilmu lain yang saya anggap "sangat penting"yaitu ilmu yang diperlihatkan melalui tindakan dan kata-kata dari guru (kyai/gus) kami yaitu Gus Fathul Yasin (pengasuh). Dengan pengalamannya yang sangat luar biasa sebagai organisatoris tulen NU, jurnalis, entrepreneur, dan aktivitas sosial lainnnya, beliau selalu mendorong dan meminta kepada para santrinya supaya menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat. Kira-kira seperti ini dawuh beliau kepada santrinya "Apapun pekerjaan kalian nanti, baik sebagai dosen, guru, pengusaha, politikus, dan profesi lainnya, tapi ada yang lebih penting yaitu kalian bharus mengajarkan ilmu yang diperoleh tanpa dibayar, bahkan jika perlu kalian yang membayar supaya bisa mengajar". Inti dari nasihat dari beliau adalah santri itu mengabdi.
~nyantri nganti rabi, ngaji nganti mati
~ilmu yang kalian peroleh, sudah cukup untuk mengendalikan diri kalian
~Bermimpilah setinggi-tingginya dan jangan pernah membunuhnya, karena kita tidak tahu kapan, dimana, dan dengan siapa Allah SWT akan mengabulkan mimpi tersebut
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI