Mohon tunggu...
Eko Mulyadi
Eko Mulyadi Mohon Tunggu... -

Jurnalis, sesekali menulis opini, pengajar. Tinggal di Medan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan-jangan Kita Lebih Suka Dipungli

14 Oktober 2016   21:30 Diperbarui: 14 Oktober 2016   21:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sumber Okezone.com

PADA Selasa (11/10/2016) kita dihebohkan dengan berita operasi tangkap tangan (OTT) pelaku pungutan liar yang dilakukan polisi terhadap oknum pejabat di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Yang makin bikin heboh, orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi), sampai turun langsung ke kantor Kemenhub untuk meninjau penangkapan tersebut.

Hari-hari berikutnya, berita tentang OTT tersebut masih menghiasi halaman banyak media. Bahkan ceritanya makin berkembang, sampai kemungkinan pemberantasan pungli akan dilakukan ke banyak instansi lain, hingga ke akar-akarnya, melihat keseriusan Jokowi dengan memerintahkan Menko Polhukam Wiranto memimpin tim pemberantasan pungli.

Kita ketahui, di Indonesia praktik pungli memang menggurita. Hampir di segala lini, utamanya di instansi pemerintahan yang ada kaitannya dengan pengurusan izin dan sebagainya, pungli seperti jadi praktik biasa. Mulai dari pejabat tingkat RT/RW, kelurahan hingga di dinas-dinas. Mulai dari petugas di pinggir jalan, hingga yang ada di gedung tinggi perkantoran.

Ada idiom, kalau sang oknum pejabat sudah buka laci, maka kita yang berkepentingan mengurus sesuatu di sana harus memasukkan duit ke dalamnya. Itulah praktik kotor, yang seperti sudah mentradisi di Indonesia.

Praktik pungli, selain korupsi, bahkan telah mengakibatkan daya saing ekonomi Indonesia secara global relatif rendah.

Dalam lingkup ekonomi, banyak pelaku usaha kerap mengeluhkan prektik pungli mulai dari pengurusan perizinan, pengakutan barang hingga menurunkan barang ke gudang atau toko pun terkena pungli. Pelakunya macam-macam, mulai dari oknum pejabat, oknum aparat di jalan hingga preman berkamuflase organisasi serikat kerja.

Dalam hal perizinan, misalnya. Saat ini, memang di hampir semua daerah sudah berdiri Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), di mana untuk mengurus izin usaha seperti SIUP, HO atau TDP sudah bisa dilakukan satu pintu bahkan secara online, sehingga meminimalkan kemungkinan pungli. Namun konon, di awal-awal berdirinya BPPT dulu, kalangan pengusaha lebih suka mengurus izin tersebut melalui calo. Katanya, melalu calo lebih cepat, sementara staf di instansi tersebut bekerja lambat atau peralatan komputernya yang ‘lelet’.

Tapi syukurnya, didapat informasi sekarang ini pelayanan melalui BPPT sudah lebih bagus dan lebih cepat.

Tapi bukan berarti praktik pungli sudah habis. Buktinya kejadian di Kemenhub tadi, dan banyak lagi peristiwa yang melibatkan oknum aparat.

Ada ungkapan, “Ada gula ada semut” yang mengibaratkan oknum pejabat mau melakukan pungli karena ada iming-iming dari masyarakat. Apa bukan sebaliknya, masyarakat memberi karena diminta atau dipaksa?

Timbul pula pertanyaan, jangan-jangan masyarakat kita memang lebih suka dipungli. Masyarakat sudah duluan terpikir bakal menghadapi birokrasi yang berbelit, makanya lebih memilih mengurus melalui calo, atau menyogok oknum aparat agar masalah cepat selesai. Karena dengan memberi upah ke calo, gak usah susah-susah mengantri, gak perlu lama menunggu, tinggal terima siap barang di rumah. Istilahnya ‘Pelayanan Pasti Pas’ - pas waktu selesainya sesuai tarif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun