Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melankolis, Koleris, Sanguinis, atau Plegmatis? Bukan, Saya Anarkis…

21 Mei 2012   09:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Kompas.Com (Kristanto Purnomo, Kompas.Com)

[caption id="" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi. Sumber: Kompas.Com (Kristianto Purnomo, Kompas.Com)"][/caption] Brak, bruk, brek, brok. $%#@!&()*+@!!!. Aaarrrgh. Ggrrrhhh. Gedebak-gedebuk. Oh, bagi Anda yang tidak tahu dengan kata-kata atau simbol-simbol yang baru tercantum tadi, saya cuma bisa berkomentar: barangkali itu adalah kata-kata atau simbol yang dapat mewakili suasana yang terjadi dalam hampir semua aksi fisik yang melibatkan setidakya 2 kelompok sipil: kelompok korban dan kelompok pelaku kekerasan fisik. Konteksnya bisa berbeda-beda: perkelahian pelajar, bullying, pembubaran paksa, dan sebagainya.

Kita membaca dari Kompas.Com tentang salah satu aksi tersebut, terkait diskusi yang melibatkan penulis Irshad Manji. Ini dapat dibaca di “Kronologi Pembubaran Diskusi Irshad Manji di Yogya”. Selain itu, banyak aksi serupa sering terjadi di berbagai tempat.  Dan, barangkali, itu pun bisa terjadi dalam konser Lady Gaga, jika akhirnya konser itu diizinkan oleh aparat keamanan sementara para penentangnya mengambil alih peran hakim dan polisi sekaligus. Dan, tentu saja, hal itu memang sudah sangat sering terjadi dalam banyak “pembubaran paksa” acara mana pun di mana pun oleh siapa pun.

Tulisan ini tentu terasa sangat membosankan—barangkali sudah ada tanda-tandanya ketika Anda membaca alinea pertama—jika hanya mengulas tentang “pembubaran paksa” acara-acara di atas. Kita sudah mendengar banyak laporannya dari berbagai media. Bahkan, diskusi mengenai benar-tidaknya pembubaran tersebut, beserta argument-argumen yang menyertainya, sudah banyak terpapar di banyak tempat—biasanya dalam talk show di televisi-televisi. Jadi, tulisan ini tidak mau berpusing-pusing mengenai legalitas atau ilegalitas tindakan para pihak yang membubarkan (dengan paksa) atau pihak yang dibubarkan. Kita tidak repot-repot membahas siapa sebenarnya yang salah dan siapa yang benar.

Juga, kita tidak akan mengupas fenomena itu dengan menggunakan adagium “two wrongs don’t make a right” atau versi lain: “The end does not justify the means” (Keduanya sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia—mungkin paling mendekati adalah “jangan membalas kejahatan dengan kejahatan” [?]). Rasanya tidak banyak di antara kita yang percaya bahwa kita bisa mengatasi kekeliruan dengan menggunakan kekeliruan juga. Satu kekeliruan sudah banyak, apalagi harus ditambah satu lagi.

Hal yang masih tersisa dari fenomena itu adalah, boleh jadi, ini: mengapa orang suka membubarkan secara paksa sesuatu yang dianggap ilegal? Mengapa orang sering bertindak secara publik—dalam arti melakukan sesuatu yang berdimensi sosial karena bersinggungan dengan orang lain—hanya berdasarkan penilaian atau pendapatnya pribadi/subjektif? Mengapa orang sering memaksakan opini atau pendapat pribadi/subjektif—bahkan dengan menggunakan kekerasan bilamana perlu?

Namun, mari kita bedah sedikit anatomi dari fenomena tersebut. Biasanya, kejadian tersebut biasanya muncul dari ketidaksabaran atau rasa gemas orang atau sekelompok orang atas sesuatu yang dianggapnya keliru, ilegal, imoral, atau setidaknya “tidak pantas” menurut kacamata mereka. Reaksi mereka sangat cepat, bahkan ketika orang lain belum sadar di mana letak kekeliruan yang mereka lihat. Boleh dikatakan, radar atau sistem “alam alert” mereka sangat peka dalam mendeteksi kesalahan yang terjadi—mungkin mereka sangat cocok untuk bekerja di bagian “quality control” perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang-barang secara massal.

Melihat sesuatu yang keliru atau salah dan mencoba untuk memperbaikinya sebenarnya suatu watak yang baik. Seperti dikatakan tadi, radar atau sistem “alarm alert” mereka sangat peka—dan itu sangat bagus. Anak-anak kecil mungkin perlu dilatih untuk mengkritisi segala sesuatu yang dianggapnya keliru atau salah di sekitar mereka. Barangkali, ini merupakan salah satu hal yang kurang dalam pendidikan anak-anak di masyarakat kita. Sudah terbiasa anak-anak kecil selalu dianggap “anak” dan “kecil” dalam banyak urusan. Masih ingatkah Anda jika dulu masih kecil Anda disuruh “menyingkir” jika ada tamu yang datang berkunjung—tentu tamu untuk orangtua kita? “Sssst … kamu masuk dulu ke kamar, Papa ada tamu.” Atau: “Tomi, jangan begitu. Itu tidak sopan di depan Tante….”

Pernah, bukan? Seolah-olah anak-anak memang dilatih untuk tidak kritis dan tidak berani mengeluarkan pendapat di dunia yang didominasi oleh “orangtua”. Kita percaya, banyak di antara kita yang tumbuh berkembang dalam kondisi seperti itu. Namun, boleh jadi, banyak di antara kita yang justru tumbuh sebagai anak yang kebalikannya. Anak seperti ini bisa disebut sebagai “anak kritis”. Mereka langsung dan terbuka pada kekeliruan dan ketidakadilan yang mereka alami. Mereka tumbuh dalam suasana yang barangkali lebih terbuka.

Namun, harus diingat, walaupun mereka sering bersikap kritis, tetapi mereka belum tentu benar. Mereka kritis terhadap segala sesuatu yang dianggap keliru atau tidak benar. Namun, belum tentu kritik mereka benar. Boleh jadi merekalah yang keliru—terutama justru karena ketidaktahuan mereka. Orangtua yang akomodatif mencoba untuk mengakomodasi sikap kritis—kritik—anak mereka, tetapi mencoba meluruskan persepsi atau penilaian sang anak yang tidak tepat. Sering kali, anak dapat menerima pelurusan atau koreksi ini, tetapi sering juga tidak.

Jika setelah pelurusan atau koreksi si anak tidak menerima, “anak kritis” bisa berubah menjadi “anak manja”. Istilah “anak manja” mungkin terlalu menyederhanakan gambaran kondisi ini, walaupun cukup mewakili. Anak menjadi manja karena keinginannya tidak dituruti. Anak menjadi manja karena penilaiannya dianggap tidak benar. Anak kemudian merajuk, ngambek, atau bertindak kasar. Pendek kata, anak yang awalnya bersikap kritis tidak dapat mengendalikan sikapnya—atau melampaui batas—dan berbalik menjadi keras kepala dan pembenci. Ia membenci dan memusuhi orangtua—atau siapa saja—yang tidak menerima sikap kritisnya.

Orang boleh berbeda dalam mengalami atau mengamati dari apa yang saya tulis di atas. Namun, setidaknya orang boleh merasakan bahwa “anak manja” kurang lebih mempunyai sifat seperti itu. Saya mungkin menyebutnya sebagai “sikap kritis yang semu”. Mereka cenderung kritis justru karena ada maunya—entah disadari atau tidak—di luar keinginan murni dalam mengkritik kekeliruan di sekeliling mereka.

Baru-baru ini, saya membaca sebuah buku yang, sekali lagi, mengupas mengenai beberapa tipe karakter manusia. Ia menyebut-nyebut mengenai karakter: melankolis, koleris, sanguinis, dan plegmatis. Karakter melankolis biasanya dicirikan dengan sifat-sifat sempurna, teratur, dan rapi. Karakter sanguinis dikarakterkan dengan sifat ekspresif, ceria, dan hangat. Karakter koleris bercirikan: berkemauan keras, kepemimpinan, dan tidak mau kalah. Sementara itu, plegmatis mempunyai ciri: santai, tenang, simpatik, dan sabar.

Di buku itu, si penulis menggunakan istilah berbeda untuk deskripsi karakter di atas: dinamis untuk koleris, intim untuk sanguinis, stabil untuk plegmatis, dan cermat untuk melankolis. Sama saja sih sebenarnya. Walaupun ada hal unik yang ia kemukakan di situ—misalnya, ternyata banyak ahli yang juga ternyata membagi kepribadian manusia ke dalam 4 tipe, semuanya dengan istilah dan nama yang berbeda tetapi dengan deskripsi kepribadian atau karakter yang sama—kita tidak akan memasuki diskusi bagian ini lebih jauh. Saya sendiri punya istilah untuk 4 tipe karakter ini—kebetulan saya suka The Beatles, “band dinosaurus” asal Inggris, sehingga saya menamakan 4 tipe ini sebagai: tipe John, tipe Paul, tipe George, dan tipe Ringo (mungkin saya akan mengupasnya lain kali saja).

Dalam kesempatan ini, kita cukup bertanya: termasuk dalam tipe karakter atau kepribadian manakah “anak manja” itu? Tentu, saya tidak perlu berpura-pura bahwa tulisan ini sedang mengupas karakter atau kepribadian anak-anak. Justru karena “sikap manja” seperti yang tergambar di atas sering muncul dalam berbagai fenomena dunia orang dewasa di sekitar kita, kita bisa bertanya: termasuk tipe karakter atau kepribadian manakah orang-orang dewasa seperti itu? Walaupun pembagian karakter/kepribadian manusia menjadi 4 tipe mungkin tidak selalu diterima oleh semua orang, namun pembagian itu cukup bermanfaat dan mewakili keadaan sebenarnya—bukan berarti tanpa pengecualian atau fleksibilitas. Atas dasar itulah, kita mencoba menjawab pertanyaan tadi.

Sepintas, orang-orang dewasa yang bersikap “manja” masuk dalam tipe karakter koleris-melankolis.Di sebuah blog, ada deskripsi mengenai tipe orang seperti ini: “Bicaranya dingin, suka mengatur, tak mau kalah, dan terasa kadang menyakitkan (walaupun sebetulnya ia tidak bermaksud begitu). Setiap jawaban anda selalu ia kejar sampai mendalam, sebab ia perfeksionis, tahu detail dan agak dingin.” Astaga, kemiripannya cukup banyak, walaupun penulis sebenarnya memaksudkannya sebagai deskripsi yang positif.

Lalu, kita tentu berpikir, pasti dari semua 4 tipe itu, selain punya sisi positif atau kekuatan, ada pula sisi negatif atau kelemahannya. Dari blog yang lain, kita memperoleh bahwa sisi negatif karakter koleris adalah, antara lain:

  • Tidak sabar dan cepat marah (kasar dan tidak taktis),
  • Senang memerintah
  • Menyukai kontroversi dan pertengkaran
  • Memanipulasi dan menuntut orang lain, cenderung memperalat orang lain
  • Menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan
  • Amat sulit mengaku salah dan meminta maaf

Sementara itu, sisi negatif karakter melankolis adalah, antara lain:

  • Cenderung melihat masalah dari sisi negatif (murung dan tertekan)
  • Mengingat yang negatif & pendendam
  • Lebih menekankan pada cara daripada tercapainya tujuan
  • Tertekan pada situasi yg tidak sempurna dan berubah-ubah
  • Melewatkan banyak waktu untuk menganalisa dan merencanakan
  • Standar yang terlalu tinggi sehingga sulit disenangkan
  • Hidup berdasarkan definisi
  • Sulit bersosialisasi
  • Tukang kritik, tetapi sensitif terhadap kritik/ yg menentang dirinya
  • Sulit mengungkapkan perasaan (cenderung menahan kasih sayang)
  • Rasa curiga yg besar (skeptis terhadap pujian)

Kita benar-benar terkejut, betapa miripnya sifat negatif dari karakter koleris-melankolis dengan karakter yang sering dipertontonkan oleh orang-orang dewasa yang manja itu. Kita mungkin bahkan bisa menggunakan istilah “karakter anarkis” sebagai gabungan yang sangat sempurna dari hampir semua sifat-sifat negatif dari karakter koleris-melankolis di atas.

Ehmm … tentu, tidak ada “karakter anarkis”. Ini cuma karakter bohong-bohongan bikinan empunya tulisan ini. Namun, sama seperti anak manja di mana pun juga, kita punya hak untuk khawatir bahwa jika sikap-sikap seperti itu dibiarkan, anak kritis yang berubah menjadi anak manja, lama-kelamaan bisa-bisa berubah menjadi anak anarkis, yaitu anak-anak yang merasa hidup ini tidak ada aturannya sehingga mereka boleh memaksakan kehendak dan penilaiannya. Kalau sudah begitu, tentu bisa berabe kita semua … hiiiiiiiii……***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun