"Dua jalan satu nama. IKAPMII kini lebih mirip partai politik daripada rumah silaturahmi
Wadah yang semestinya jadi ruang temu lintas generasi, simpul jejaring, dan jembatan kontribusi sosial, justru berubah jadi arena perebutan legitimasi. Satu nama dipakai dua kubu, dua jalan dipetakan dengan bendera berbeda. Publik pun dibuat bingung: ke rumah alumni yang mana harus bertamu, kalau tuan rumahnya sendiri tidak akur?
Dualisme ini ibarat orang berebut sajadah di tengah shalat berjamaah. Kiblatnya satu, kalimatnya sama, tapi sajadah ditarik ke kanan dan kiri. Alhasil, yang tadinya mau khusyuk justru berantakan. Bukankah ironi terbesar ketika kalimat tauhid yang sama melahirkan jalan yang saling menafikan?
Dulu tongkat pergerakan diangkat sebagai penuntun, kini tongkat yang sama dipakai untuk mengetuk lawan di kepala. Kalau syahadah jadi kiblat, kilatan tongkat jadi alat rebutan. Dan di tengah hiruk-pikuk itu, publik hanya bisa bertanya: ini alumni pergerakan atau barisan pemain drama yang kebetulan hafal jargon "ukhuwah"?
Sejarah kita penuh dengan cerita serupa. Partai-partai besar negeri ini pecah karena perebutan legitimasi. Masyumi, PNI, bahkan NU pun pernah retak di tubuhnya sendiri. Bahkan dalam sejarah Islam klasik, "fitnah kubra" melahirkan dua jalur politik dari satu kalimat tauhid. Kini, IKAPMII mengikuti jejak itu, tapi dalam versi parodi: wadah silaturahmi alumni yang katanya penuh kekeluargaan, malah berperilaku laiknya partai politik murahan.
Kalau ditanya secara teoritis, Hegel mungkin akan tersenyum getir: "Ah, beginilah dialektika. Tesis melahirkan antitesis." Tapi sayang, di sini tak ada sintesis. Yang ada hanya dua jalan yang saling menghalangi. Marx pun mungkin akan menepuk jidat: konflik seharusnya jadi motor perubahan, bukan motor perebutan kursi kosong.
Durkheim menyebut solidaritas mekanis bisa menyatukan, tapi nyatanya solidaritas alumni ini rapuh sekali---mudah retak hanya karena tafsir AD/ART. Nietzsche barangkali paling tepat menggambarkan: ini bukan kehendak untuk bersatu, melainkan kehendak untuk berkuasa.
Metaforanya sederhana: ini seperti kapal Theseus yang bagian-bagiannya terus diganti. Kalau kapal sudah berubah seluruhnya, masihkah ia kapal yang sama? Kalau IKAPMII sudah terbelah dua, lalu tiga, masihkah ia wadah alumni pergerakan---atau hanya papan nama yang diperebutkan?
Atau, mungkin lebih tepat lagi: dua jalan satu nama hanyalah bayangan di kaca retak. Wajahnya tetap satu, tapi pantulannya bercabang, saling menuding, saling menyangkal. Dan selagi bayangan sibuk berkelahi, tubuh aslinya terus kehilangan arah.
Lalu sampai di sini, tersisa satu pertanyaan retoris: jika seorang alumni berbeda jalan, berbeda pilihan, bahkan berbeda tafsir organisasi---apakah status kealumniannya hilang? Apakah sejarah bisa dicabut begitu saja? Kalau iya, maka IKAPMII bukan lagi rumah silaturahmi, melainkan meja registrasi yang menentukan siapa sah siapa tidak. Dan kalau tidak, maka jelaslah: dualisme ini hanyalah perebutan papan nama, bukan perebutan marwah.
Namun, setiap retakan selalu memberi peluang rekonstruksi. Jalan keluar bagi IKAPMII bukan dengan saling menegasikan, melainkan dengan menata ulang ruang temu: mempertemukan perbedaan tanpa memaksakan keseragaman. Alumni boleh berbeda jalan, tapi jejaring tetap satu. Bukan soal siapa yang sah atau palsu, melainkan siapa yang masih mau menyalakan api kontribusi.