Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Pengajar, Peneliti, Aktivis Sosial.

Penulis dan pencari makna dalam pembelajaran, menggali makna dari setiap ilmu yang diajarkan dan ditulis, karena pengetahuan adalah cahaya yang perlu dibagikan."

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Ketika Kemenangan Siber Tiongkok Mengubah Peta Dunia

14 Agustus 2025   13:49 Diperbarui: 14 Agustus 2025   13:57 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perang siber Tiongkok–Amerika di era dominasi digital. OpenAI / DALL·E

Bayangkan sebuah dunia di mana pusat kendali keamanan digital tidak lagi berada di Washington, melainkan di Beijing. Arus informasi, standar teknologi, dan sistem keamanan siber global dikendalikan dari Zhongnanhai. Kapal perang dan pangkalan militer tetap ada, tetapi senjata paling efektif adalah kode biner yang tersembunyi di jaringan lawan, siap melumpuhkan listrik, komunikasi, atau sistem keuangan dalam hitungan detik. Ukuran kekuatan negara ditentukan bukan oleh jumlah rudal atau kapal induk, melainkan oleh kemampuan menyusup, bertahan, dan mengendalikan infrastruktur vital pihak lain dari jarak jauh.

Anne Neuberger, mantan Deputi Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat untuk Siber dan Teknologi, dalam tulisannya di Foreign Affairs edisi September/Oktober 2025, menyatakan bahwa Tiongkok berada di ambang kemenangan dalam perang siber global. Operasi seperti Salt Typhoon menjadi bukti konkret: bukan sekadar aksi peretasan, melainkan strategi jangka panjang menanam "ranjau digital" di jantung infrastruktur vital lawan. Infiltrasi ini bekerja diam-diam, bertahan bertahun-tahun, dan dapat diaktifkan kapan saja, menjadikan ruang siber sebagai medan tempur tanpa garis depan yang jelas.

Jika Tiongkok memantapkan posisi sebagai penguasa siber, pergeseran kekuasaan global akan terjadi tanpa konfrontasi militer terbuka. Deterensi tradisional kehilangan daya tawar. Dalam krisis Taiwan, Beijing tidak perlu mengirim armada; ancaman memutus pasokan listrik di Pantai Timur AS atau melumpuhkan jaringan logistik nasionalnya cukup untuk memengaruhi keputusan strategis Washington. Bentuk kekuatan ini senyap, presisi, dan langsung menghantam jantung kehidupan sipil maupun infrastruktur negara.

Dampaknya akan merembes ke arsitektur politik internasional. Sekutu-sekutu AS di Asia-Pasifik---Jepang, Korea Selatan, Australia---akan menimbang ulang keandalan payung keamanan Amerika. Sebagian mungkin mengambil posisi netral atau mendekat ke Beijing demi stabilitas. Pergeseran ini akan merombak tatanan keamanan kawasan, mengikis pengaruh Washington, dan memperkuat Tiongkok sebagai pusat gravitasi politik dan militer baru.

Perubahan juga akan terjadi pada norma internasional. Jika agresi siber efektif dan dibiarkan tanpa respons tegas, ia akan diakui sebagai instrumen sah politik luar negeri. Ruang siber menjadi arena konflik permanen, di mana batas antara masa damai dan masa perang kian kabur. Di bawah permukaan, ketegangan global berlangsung terus, memengaruhi ekonomi, diplomasi, dan bahkan opini publik tanpa selalu disadari.

Salah satu konsekuensi strategis adalah fragmentasi internet global. Dunia akan terbagi ke dalam blok teknologi yang saling terpisah: jaringan tertutup yang dipimpin Beijing, dengan standar keamanan dan ekosistemnya sendiri, serta model internet terbuka yang dipertahankan Amerika meski pengaruhnya menyusut. Negara-negara berkembang dipaksa memilih, karena kedua sistem tidak sepenuhnya kompatibel secara teknis maupun politis. Inilah "splinternet" dalam bentuk paling nyata---bukan sekadar perbedaan akses, melainkan perbedaan fundamental dalam infrastruktur dan kendali atas data.

Bagi Indonesia, kemenangan siber Tiongkok adalah kenyataan strategis yang tidak bisa diabaikan. Letak geografis yang vital, ketergantungan pada teknologi luar, dan celah keamanan infrastruktur digital membuat kita rentan. Integrasi yang lebih dalam ke ekosistem teknologi Beijing dapat memberi manfaat berupa investasi dan transfer teknologi. Namun, ketergantungan itu juga berarti potensi kerentanan, terutama jika kepentingan nasional kita bersinggungan dengan kebijakan Tiongkok.

Pengalaman beberapa tahun terakhir menjadi peringatan. Kebocoran data 279 juta peserta BPJS Kesehatan pada 2021, serangan ransomware yang melumpuhkan BUMN transportasi pada 2022, dan gangguan sistem kementerian pada 2023 menunjukkan lemahnya ketahanan siber kita. Semua itu terjadi tanpa satu pihak pun menguasai penuh arsitektur digital global. Bagaimana jika serangan serupa datang dari kekuatan yang mengendalikan jaringan, standar, dan infrastruktur dunia? Dampaknya bisa melumpuhkan negara, bukan sekadar mengganggu.

Kedaulatan digital karenanya harus ditempatkan sejajar dengan kedaulatan teritorial. Kita perlu membangun kapasitas pertahanan siber berbasis teknologi lokal agar tidak sepenuhnya bergantung pada pihak asing. Ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan soal memastikan bahwa keputusan politik dan keamanan kita tidak bisa dipengaruhi melalui kontrol atas sistem digital.

Diplomasi siber yang gesit menjadi kunci. Indonesia harus mampu bekerja sama dengan kedua kubu besar tanpa terjebak dalam orbit salah satunya. Prinsip politik luar negeri "bebas aktif" perlu diterapkan di ranah digital, memungkinkan kita memetik manfaat dari kerja sama teknologi sambil menjaga jarak aman dari ketergantungan strategis. Koalisi pertahanan siber ASEAN+ dapat menjadi langkah strategis, melalui pertukaran intelijen, pengembangan teknologi bersama, dan penetapan "garis merah" regional yang tidak boleh dilanggar.

Sejarah menunjukkan bahwa setiap lompatan teknologi militer mengubah tatanan dunia. Bubuk mesiu mengakhiri dominasi pedang; mesin uap merevolusi logistik perang; senjata nuklir memaksa lahirnya konsep deterensi total. Kini, perang siber menjadi babak baru: arena di mana kendali atas sistem digital dunia sama artinya dengan kendali atas kekuasaan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun