Bagong bukan pemberontak. Ia adalah rakyat biasa yang ingin agar kekuasaan tetap adil, tidak memonopoli kebenaran. Tapi seperti biasa, kekuasaan yang terluka oleh kritik justru ingin membungkam, bukan menyembuhkan. Sama seperti hari ini, di mana suara-suara yang mempertanyakan sesuatu bisa langsung dituduh "menyebar hoaks", "merusak stabilitas", atau bahkan "melawan negara". Padahal, bertanya adalah tanda warasnya demokrasi. Yang patut dicurigai adalah ketika pemerintah atau elite justru panik atas pertanyaan sederhana: "Apakah ini benar atau tidak?"
Apakah Kita Semua Sedang Berdiri di Tepi Kawah?
Jika tidak ada satupun pihak yang berani membuka ruang kebenaran, bangsa ini akan terus berdiri di tepi kawah---panas, curiga, penuh desas-desus. Seperti para dewa yang tak berani makan buah Bagong, kita semua bisa terjebak dalam sandiwara tanpa akhir: legitimasi tanpa nurani, kekuasaan tanpa kebijaksanaan. Maka, marilah kita jadikan kisah Bagong bukan hanya dongeng semalam suntuk, tapi bahan perenungan politik dan moral. Kita butuh pemimpin yang tak hanya sah secara administratif, tapi juga sah secara batin---sah di mata rakyat, sah di hati nurani.
Kembali ke Buah Kebenaran
Jika hari ini bangsa ini sedang sakit, bisa jadi karena kita tak lagi menanam pohon kebenaran dan pohon nurani.
Jika Bagong yang dulu nyaris dilempar ke kawah saja tahu pentingnya dua buah itu, mengapa kita yang katanya "beradab dan demokratis" justru takut memetiknya? Kini, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang salah atau benar. Tapi:
Masih adakah yang mau makan jambu kebenaran dan pelem nurani itu, sebelum semuanya hancur terbakar kawah kekuasaan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI