Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku Sejatinya Seorang Petarung

4 Desember 2020   15:43 Diperbarui: 4 Desember 2020   16:10 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi: Ibuku dan Aku

Aku percaya setiap ibu dipilih Tuhan menjadi penolong bagi suami dan anak-anaknya. Aku percaya pula, setiap ibu ditakdirkan menjadi ibu yang berbeda dengan ibu yang lainnya. Para ibu turut membangun keluarga termasuk mendidik anak dengan jalannya masing-masing. Ada yang lemah lembut, pendengar yang baik sampai yang keras dan menang sendiri. Begitulah cara masing-masing membangun karakter manusia. Satu hal yang pasti, sumber pengetahuan mula-mula dari ibu. Tepat dimana aku dan kamu masih embrio di dalam rahim, dari sanalah kita yang sekarang bermula.

Ibuku

Hari ini aku akan bercerita tentang seorang ibu, seorang wanita batak berumur 60an tahun. Dia adalah ibuku dan ibu dari ke-enam saudaraku yang lainnya. Ibuku tipikal wanita yang tidak banyak bicara. Sehari-hari dihabiskan untuk bekerja. Jadi, sejak aku kecil aku hampir tidak pernah melihat ibu nimbrung bergosip dengan ibu-ibu lain. Dia bertemu dengan orang hanya ketika ada hajatan adat atau keramaian, sekedar menghadiri atau bantu-bantu saja.

Soal pendidikan formal, ibuku tertinggal dibanding saudara-saudaranya. Kakekku mempunyai 5 anak dan ibu paling bungsu, ibu satu-satunya tamatan SMP. Itu pun izajahnya tidak pernah aku lihat. Jadi, pengakuannya saja dia tamatan SMP.  Ketika kami tumbuh semakin besar, ibu semakin kesulitan untuk mengajari kami. Jika awalnya sebatas menulis dan membaca masih bisa dilakukannya. Tapi, ketika pembelajaran semakin sulit, ibu hanya bisa menunggui tanpa tahu kami mengerjakannya benar atau tidak. Satu hal yang pasti, dia selalu hadir mendampingi sampai selesai. Dia adalah orang terakhir yang meninggalkan ruang tengah tempat kami belajar.

Mendidik dengan teladan

Ibuku memang hanya lulusan SMP. Dia tidak memiliki kemampuan untuk memberi wejangan panjang lebar. Kemampuan menasihatinya awalnya hanya sebatas kata "burju-burju ma ho". Misalnya: burju-burju ma ho marsiajar (belajarlah dengan baik).

Lantas dikemudian hari setelah aku dewasa, muncul pertanyaan dalam hatiku bagaimana ibuku menjadi sekolah pertama? Bagaimana ibu mendidik ketujuh anaknya dari bayi sampai menghantarkan mengeyam pendidikan di kampus favorit seperti UGM, UI, UNDIP, USU, USRI dan UNRI bahkan ada yang sampai menuntut ilmu sampai ke Roma?

Pelajaran utama dari ibuku adalah "perbuatan baik itu lebih penting dari kata-kata yang baik". Ibuku memang tidak pandai merangkai kata nasihat. Dia lebih tampak sebagai seorang wanita pendiam. Tapi, soal perbuatan, dia mengajarkan lebih dari ibu mana pun yang pernah aku kenal.

Setelah menikah dengan ayah yang hanya lulusan SMA. Ibu dengan ikhlas merelakan ayah untuk pelan-pelan melanjutkan pendidikannya. Butuh waktu kurang lebih 10 tahun dari Diploma 1 ke Diploma 2 lalu Diploma 3 dan sampai akhirnya memperoleh gelar Strata 1. Selama itu pulalah ibu berjuang merawat kami terkadang tanpa kehadiran suami, di samping itu dia juga masih harus bertani dan beternak. Selama berjauhan dengan ayah, ibu bekerja lebih giat untuk mendukung ekonomi keluarga tanpa harus melepas tanggung jawabnya mendidik anak.

Bagaimana ibu mendidik kami? Anak yang paling besar harus menjaga adiknya yang lebih kecil. Kami diajarkan saling menjaga dan melindungi. Soal pekerjaan, pekerjaan yang ringan pelan-pelan diajarkan, seperti menyapu, memasak, mencuci piring, memberikan makan ternak di kandang dan mengangon kerbau di ladang. Awalnya ibu yang melakukan terlebih dahulu lalu kami ikuti caranya. Misalnya, ibu ketika pergi ke sawah menggendong adikku yang paling kecil lalu. Besoknya kakakku yang paling besar melakukannya. Begitulah semua hal dilakukan, kami tiru lalu lama-kelamaan kami bisa melakukan.

Seingat saya, pagi-pagi ibu sudah harus memastikan pekerjaan kami selesai, seperti babi dan ayam sudah makan dan kerbau sudah digiring ke padang penggembalaan sebelum kami berangkat sekolah. Setelah itu, ketika pada musim tanam padi dia akan segera berangkat ke sawah mengolah tanah sampai menanam padi. Lalu pada saat menunggu musim panen padi, dia akan mengurus kebun kopi dan kadang-kadang menanam tanaman muda. Hasilnya, itu yang menyekolahkan kami. Itulah yang berulang-ulang dilakukan hari lepas hari. Itulah yang kami saksikan, itulah caranya mengajar tanpa berkata-kata. Apakah anak-anaknya selalu mengikuti caranya? Tidak juga, terkadang kami tidak melakukannya karena terlena bermain atau merasa bosan. Lalu, ibu akan melakukannya sendiri. Namun seiring anak-anaknya tumbuh dewasa, kepatuhan pun semakin baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun