Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara-Suara Perempuan dan Cara Laki-Laki Meminjamnya

10 Maret 2021   11:53 Diperbarui: 11 Maret 2021   11:21 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Pixabay.com

Semula saya ingin menulis tentang Mary Wollstonecraft dan putrinya, Mary Shelley, dalam rangka merayakan hari perempuan sedunia. Alasannya, ibu dan anak itu punya peran besar baik gerakan kesetaraan gender maupun jagat literasi. Akan tetapi, niat ini saya gagalkan sendiri, selepas saya berpikir, kenapa saya tidak membahas perspektif saya terhadap perempuan selama menulis novel? Bukankah novel yang saya tulis melibatkan beberapa tokoh perempuan? Meskipun, saya akui, tokoh-tokoh yang saya tulis tetap saja didominasi oleh kaum saya sendiri. Sebenarnya bukan karena saya merasa perempuan tidak layak jadi karakter utama, melainkan saya belum berani  mengambil suara perempuan lebih dari yang saya ketahui. Inilah yang ingin saya bahas. 

Kemarin, saya tidak sengaja menemukan potongan webinar jurnalis perempuan, Titah AW yang membahas tentang menulis yang mistis dan magis di akun Instagram @Klubbukunarasi. Menurutnya, kunci dalam menulis itu menghindari sikap serbatahu. Penulis dituntut kritis, termasuk terhadap pengetahuan yang ia miliki. Belum tentu yang sedang kita ketahui itu sepenuhnya benar, atau bisa jadi semuanya salah. 

Pada poin itu, saya sangat sepakat dengan nasihat si pembicara. Diperlukan rasa ingin tahu yang besar ketika sedang menulis. Keingintahuan itu akan menuntun kita untuk nenemukan jalan dari setiap pertanyaan yang muncul, mendorong hasrat untuk tahu lebih banyak, dan tentunya melahirkan karya yang bernas dan meyakinkan.

Bagian ini bisa juga saya kaitkan dalam konteks menulis fiksi, khususnya menulis fiksi tokoh perempuan oleh penulis laki-laki. Menulis tentang perempuan dari sudut pandang laki-laki itu tidak semudah yang dipikirkan. Tidak cukup rasanya membayangkan diri jadi seorang perempuan, kemudian bermodalkan pengalaman sederhana, premis, dan ide belaka, lantas kita (laki-laki) bercerita panjang lebar mengenai kehidupan mereka sekehendak hati. Seakan-akan kita tahu pasti beginilah keadaan perempuan secara aktual dan sesuai realita. Padahal, itu tindakan yang sangat ceroboh. Iya, saya paham. Memang benar, cara ini bisa bekerja. Namun, berlaku untuk karya yang sifatnya dangkal dan mencuri ciri-ciri fisik mereka saja, atau boleh jadi karakter yang digambarkan demikian sempurna, tanpa cacat cela, manusia utopis yang hidup perfeksionis dan ideal di negara maju dan kaya raya. Kalau benar demikian, sudah barang tentu tidak begitu sulit dilakukan (menyalin karakter) oleh si pengarang. Saya tidak menampik. Tipikal cerita seperti ini disukai oleh orang-orang sebagai hiburan. Tidak peduli, apakah tulisan itu sangat merendahkan martabat perempuan, misoginis, seksis, atau mungkin misandri.

Mari kita menengok ke belakang. Bagaimana suara perempuan yang dekat dan nyata--setidaknya menurut anggapan subjektif-- dapat memberi pengaruh besar terhadap pola pikir saya (pria) secara pribadi. Saya teringat dengan beberapa film yang tokoh utamanya adalah perempuan, salah satunya Hidden Figures. Film ini bercerita tentang tiga orang dibalik keberhasilan NASA menerbangan manusia ke bulan. Tiga kalkulator berjalan itu--berkat kemampuan berhitung mereka yang menakjubkan--melewati masa-masa yang begitu kritis dan berat. Hal ini karena perlakuan rasis dua kali lipat dari atasan dan sesama pekerja. Alasan pertama karena mereka berkulit hitam. Kedua, karena mereka perempuan. Selain dikucilkan di ruang tersembunyi dan terpisah dari pegawai NASA, mirisnya, sampai-sampai urusan buang air kecil pun mereka harus berjalan lumayan jauh dari kantor. Film ini sukses membuat saya sangat bersimpati kepada para perempuan di masa itu. Mereka yang tak dikenal dan dilupakan padahal berjasa bagi kita semua.

Lalu, saya teringat juga film kontroversial tanah air, karya sutradara Bumi Manusia, Hanung Bramantyo. Film "Perempuan Berkalung Sorban" adalah karyanya paling berani menantang arus. Di saat sineas waktu itu kebanyakan membicarakan perempuan penuh kehati-hatian--atau justru mencitrakan negatif perempuan lewat film horor murahan di tahun 2000-an. Hanung malah terang-terangan menggarap film tentang pemberontakan perempuan dengan melibatkan adat dan kepercayaan tertentu. Pilihan beresiko memang, tapi sebanding dengan hasil yang ingin dicapainya. Jika Riri Riza berhasil lewat film Laskar Pelangi mengajak nostalgia baby boomer miskin pada masanya akibat ketimpangan pendidikan di tengah-tengah pulau kecil, maka WBK berhasil pula mengusik kaum perempuan yang kehilangan sisi kenormalannnya akibat ditekan batasan-batasan yang konon, sempat dianggap lazim. Siapa pun yang pernah menonton film WBK, tentu belum lupa adegan Revalina S. Temat menangis pilu sewaktu buku-buku miliknya dibakar habis. Adegan yang sungguh membuat saya kesal setengah mati. Buku-buku itu di mata saya ialah simbol 'kemerdekaan berpikir' kaum perempuan yang tega direnggut.

Sedangkan untuk novel, yang paling berbekas di benak saya adalah novel pinjaman kawan sewaktu saya masih SMP kelas satu. Novel karangan Jean P. Sasson yang berjudul Princess: A True Story of Life Behind the Veil in Saudi Arabia. Princess berkisah tentang kehidupan putri dan perempuan di Arab Saudi yang  mengalami diskriminasi amat parah. Dari lembar awal sampai akhir begitu mengoyak-ngoyak perasaan saya ketika itu. Bagaimanapun, sebagai anak-anak saya belum tahu banyak tentang makna patriarki yang sebegitu mengakar di berbagai kehidupan, saya cukup kaget kala itu. Lalu, saya juga pernah membaca Perempuan di Titik Nol karangan Nawal El Saadawi. Yang ini lebih radikal dan tanpa tedeng aling-aling menyindir kaum laki-laki.  

Ada pula tokoh-tokoh dari penulis tanah air yang tak kalah membuat saya tersentuh, yang mungkin sudah banyak dikenal oleh pembaca sekalian,  seperti Upik dalam Saman (Ayu Utami), Diva Anastasia dalam Supernova (Dee), Nay Nay dalam Jangan Main-Main (Djenar Mahesa Ayu), Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Sie Sie dalam Sepotong Hati yang Baru (Tere Liye), dll, yang jika kita perhatikan lebih jauh, hampir setiap karakter itu punya kemiripan: perempuan-perempuan yang terkungkung nasibnya.

Sebetulnya masih banyak lagi list film dan buku yang mewakili suara perempuan. Sayangnya, sedikit saja yang bisa saya ingat judulnya. Tanpa bermaksud mengecilkan sinetron atau ftv yang sering berembel-embel suara hati perempuan, saya yakin, dibandingkan konflik yang tidak jauh-jauh diceritakan gila harta, perebut suami, dll, sesungguhnya masih banyak suara-suara penting dari bawah tanah yang belum tampak ke permukaan--toh, tidak semua perempuan mengamini tayangan semacam itu (*1). Suara-suara mereka yang gaungnya meminta dipahami; suara-suara yang memberikan pedoman akal sehat untuk berpikir dan bertindak. Suara Upik dalam Saman misalnya, secara tidak langsung memanggil manusia-manusia berhati malaikat untuk mengulurkan kasih kepada wanita yang mengidap gangguan jiwa, melahirkan sosok seperti Ibu Vera Manayang  (*2). 

 "Wanita seperti apakah yang sedang kita tulis? Apa yang dia inginkan?" adalah pertanyaan utama yang mesti kita jawab sebelum meneruskannya menjadi seorang tokoh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun