Bukan hanya kasus prank bunuh diri yang mempengaruhi persepsi publik terhadap banyak kasus bunuh diri. Media juga ikut andil dalam memberikan persepsi pembenaran yang bisa mendorong terjadinya aksi bunuh diri.
Bukan sesuatu yang asing lagi jika kita menemukan judul berita yang menyebutkan penyebab bunuh diri hanya gara-gara skripsi, diputuskan pacar, atau sekadar dilarang main game. Seolah-olah bunuh diri sesuatu yang normal dilakukan saat menghadapi masalah.Â
Media sama sekali tidak mempertimbangkan faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab bunuh diri. Padahal Sosiolog Emile Durkheim dalam bukunya berjudul Suicide (1987) menyebutkan bahwa ada 3 faktor utama yang melatari bunuh diri, yakni agama, keluarga, dan politik.
Prank bunuh diri ala AS cukuplah menjadi yang terakhir kalinya terjadi. Penulis berharap pihak berwenang bisa mengambil sikap atas kejadian ini, minimal melarang konten prank bunuh diri atau memberi sanksi bagi yang nekad melakukan prank bodoh ini lagi. Media berita juga diharapkan bisa selektif dan lebih bijak lagi dalam membuat judul maupun isi konten mengenai bunuh diri.
Catatan:
Bagi Anda yang menemui tanda-tanda seseorang berniat bunuh diri di media sosial, segera laporkan lewat fitur laporan yang tersedia (Instagram, Facebook, dan Wa), atau melalui hotline 119 (bebas pulsa) milik Kementerian Kesehatan yang masih aktif.
Sumber:Â