Mohon tunggu...
Ekin Njotoatmodjo
Ekin Njotoatmodjo Mohon Tunggu... Lainnya - A Current Student, A Budding Diplomat

University of Washington, Seattle (2019-2023) Hubungan Internasional dan Bisnis Administrasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hagia Sophia dalam Perang Dagang Kuno

17 Juli 2020   17:16 Diperbarui: 17 Juli 2020   17:14 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaligrafi Lafadz Allah dan Gambar Bunda Maria bersama Yesus Kristus dalam Kubah Hagia Sophia. (flickr)

Terlepas dari nilai moralitas dan etika yang seharusnya, adalah sebuah fakta yang tidak terpungkiri bahwa banyak pemerintahan bangsa di masa lalu yang memanfaatkan agama sebagai simbol kejayaan dan alat untuk berkuasa atas sebuah wilayah dan rakyatnya.  

Ketika Konstantinus Agung memindahkan ibukota Kekaisaran Romawi Byzantium, memegang kuasa atas potensi terbesar politik dan perekonomian dunia saat itu adalah tujuan utamanya. 

Dalam prosesnya di masa lampau, kedaulatan suatu pemerintah baru akan lengkap ketika sebuah pemerintahan berhasil menegakkan agamanya disuatu wilayah. Hagia Sophia sendiri dibangun 200 tahun oleh pemerintah Romawi setelah pusat perekonomian Konstantinopel terbentuk, sekitar tahun 532. 

Bangunan itu menjadi salah satu pusat peribadatan terbesar dan termegah dunia, dan diperuntukkan sebagai pusat ibadah Kekristenan Ortodoks dan Katolik. Dengan berkibarnya panji agama resmi Kekaisaran di kota tersebut, Konstantinopel menjadi simbol legitimasi kekuatan ekonomi dan politik Kekaisaran Byzantium sebagai penguasa dunia. 

Hagia Sophia menjadi salah satu trademark dari Kekaisaran Romawi. Selama sekitar 1000 tahun setelahnya, hampir seluruh lalu lintas perdagangan dunia singgah di Konstantinopel. Konstantinopel sebagai kota terkaya dunia membawa pesan bahwa siapapun yang berhasil menguasai Konstantinopel, merekalah yang menguasai dunia. 

Kejayaan ini yang mengundang banyak usaha aneksasi atau pendudukan wilayah Konstantinopel dari tangan Kekaisaran Romawi. Selama ribuan tahun pula, kekuatan pertahanan Konstantinopel selalu berhasil menghalau gempuran agresi militer dari kekuatan lain. 

"Siege of Constantinople" by Jean Le Tavernier, 1455

Angin perubahan mulai bertiup di abad ke 15. Kala itu, kekuatan Kekaisaran Romawi berangsur-angsur tereduksi akibat konflik internal dan juga serangan dari negara lain. Kondisi ini lantas dimanfaatkan Mehmed II, Sultan muda berusia 21 tahun dari Kesultanan Ottoman, dalam ambisinya menaklukkan dunia. 

Dengan kecerdikannya, pasukan Mehmed II memblokade Selat Bosphorus, salah satu pintu masuk utama  Konstantinopel. Sultan lalu melancarkan serangan selama 53 hari tanpa henti untuk menyerbu Kekaisaran Romawi. Sisa pasukan Kekaisaran Romawi pun kewalahan, karena blokade laut Mehmed II menghalangi bala bantuan mereka. 

Akhirnya, pada 29 Mei 1453, Konstantinopel pun jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman. Tak lama berselang, Hagia Sophia lantas dialihfungsikan dari Gereja menjadi Masjid suci. 

Ketika panji agama Islam, yang kental kaitannya dengan kepercayaan resmi Kesultanan Ottoman berhasil diusung di Kota dan salah satu bangunan terpenting dunia, maka Kesultanan Ottoman telah berhasil menandai kekuasaannya atas perekonomian dunia kala itu, yang berlangsung terus hingga era Perang Dunia I pada abad ke 20. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun