Mohon tunggu...
Eka Pranata Putra Zai
Eka Pranata Putra Zai Mohon Tunggu... Penulis

write when you are anxious about the world your journey will become history someday

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Jogja: Kota Murah atau Hanya Terlihat Murah?

3 Februari 2025   11:00 Diperbarui: 3 Februari 2025   11:00 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tugu Jogja (Penulis/ekazai)

Yogyakarta telah lama dikenal sebagai kota dengan biaya hidup rendah. Banyak orang, terutama mahasiswa dan pendatang, menganggap Jogja sebagai tempat yang lebih terjangkau dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Namun, apakah anggapan ini masih relevan? Jika melihat realitas saat ini, terutama dari sudut pandang masyarakat lokal dan mahasiswa dari daerah dengan latar belakang ekonomi berbeda, jawabannya bisa sangat bervariasi.

Saat ini, UMR (Upah Minimum Regional) Yogyakarta hanya Rp2.109.000 per bulan. Angka ini jauh di bawah kota-kota besar lain seperti Jakarta yang mencapai Rp5.067.381, atau Bandung yang berada di angka Rp4.294.467. Dengan upah minimum yang relatif rendah, seharusnya biaya hidup di Jogja bisa mengikuti agar tetap terjangkau. Namun, kenyataannya, harga kebutuhan pokok terus meningkat, sementara gaji pekerja tidak mengalami kenaikan yang sebanding.

Salah satu contoh paling nyata adalah harga sewa tempat tinggal. Jika dulu mahasiswa bisa mendapatkan kos dengan harga Rp400.000 per bulan, kini harga kos standar dengan kamar mandi dalam di daerah seperti Depok, Seturan, atau Sagan mulai dari 800 ribu, bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per bulan. Bahkan, kos eksklusif dan apartemen di pusat kota sudah menyentuh angka Rp5 juta per bulan, harga yang mendekati biaya sewa di kota besar seperti Surabaya atau Bandung.

Bagi mahasiswa dari kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, harga-harga di Jogja masih terasa lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mereka. Mereka terbiasa dengan harga makanan yang lebih tinggi, biaya transportasi yang mahal, dan gaya hidup yang membutuhkan pengeluaran besar. Saat datang ke Jogja, mereka merasa pengeluaran mereka lebih kecil, sehingga kesan "murah" tetap melekat. Mereka bisa menikmati makan di kafe, menginap di kos eksklusif, dan menggunakan transportasi online tanpa merasa terbebani secara finansial.

Namun, perspektif ini sangat berbeda bagi mahasiswa yang berasal dari pelosok daerah dengan biaya hidup lebih rendah dari Jogja. Bagi mereka, Jogja tidak lagi terasa murah. Makanan di restoran yang dulu terjangkau kini bisa menyentuh angka Rp30.000 hingga Rp50.000 per porsi, terutama di kawasan wisata seperti Malioboro. Makanan khas Jogja, Gudeg sekarang harganya berkisar 30.000 - 50.000 perporsi. Memang masih ada yang menjual dengan harga di bawah itu, namun lokasinya pasti sangat jauh dari kampus atau area yang banyak mahasiswa dan wisatawannya.

Fenomena ini disebut "Cost of Living Paradox"

Perbedaan cara pandang ini mencerminkan "Cost of Living Paradox", di mana Jogja dianggap murah oleh orang luar, tetapi bagi sebagian orang---terutama warga lokal dan mahasiswa dari daerah dengan tingkat ekonomi lebih rendah---biaya hidup justru terasa tinggi. Mereka yang datang dari kota besar membawa standar pengeluaran yang lebih tinggi, sementara mereka yang berasal dari pelosok harus beradaptasi dengan harga yang mungkin lebih mahal daripada di kampung halaman mereka.

Selain tempat tinggal dan makanan, transportasi juga menjadi tantangan. Meski Trans Jogja masih menjadi pilihan murah, akses dan rutenya terbatas. Banyak orang akhirnya bergantung pada kendaraan pribadi atau transportasi online, yang tarifnya bisa melonjak saat jam sibuk atau musim liburan. Untuk perjalanan sejauh 3 km di pusat kota, tarif ojek online bisa mencapai Rp20.000 hingga Rp30.000, angka yang hampir setara dengan di Jakarta. Kemacetan yang semakin parah di Jogja juga membuat perjalanan menjadi lebih lama dan boros bahan bakar.

Dengan kondisi ini, pertanyaan besar muncul: Apakah Jogja masih bisa disebut sebagai kota murah? Jawabannya tergantung dari siapa yang menilai. Wisatawan atau mahasiswa dari kota besar mungkin masih merasa bahwa Jogja menawarkan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan daerah asal mereka. Namun, bagi mahasiswa dari daerah yang lebih kecil dan masyarakat lokal yang harus bertahan hidup dengan UMR yang rendah, realitasnya jauh lebih sulit.

Jogja mungkin masih lebih murah dibandingkan kota besar seperti Jakarta, tetapi sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai kota dengan biaya hidup rendah secara mutlak. Kenaikan harga sewa, makanan, dan transportasi telah membuat banyak orang---terutama warga lokal---merasakan beban ekonomi yang lebih berat. Jika situasi ini terus berlanjut tanpa keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, Jogja mungkin akan kehilangan reputasinya sebagai kota yang ramah bagi semua kalangan, dan hanya akan menjadi tempat yang "murah" bagi mereka yang datang dari kota dengan biaya hidup yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun