Mohon tunggu...
Eka Yuliati
Eka Yuliati Mohon Tunggu... Pembelajar sepanjang hayat

Pendidikan: Eka adalah seorang profesional di bidang pendidikan, penulis, dan perancang modul Literasi. Eka memiliki latar belakang pendidikan yang kuat, termasuk gelar master prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Saat ini, Eka sedang menyelesaikan studi doktorat di bidang Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha. Sebelumnya, Eka mengenyam pendidikan guru di London Teacher Training College. Karier: Eka terlibat dalam berbagai kegiatan pendidikan, termasuk merancang dan melatihkan modul literasi membaca dan menulis cerita anak. Eka telah menjadi narasumber di berbagai lokakarya nasional. Publikasi: Penelitian Eka terfokus pada membaca kelas awal dan asesmen. Publikasinya tercatat di repositori Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Eka telah menerbitkan buku di bidang asesmen yang berjudul Konstruksi Instrumen, Mengonstruksi Tes dan Nontes. Selain itu, Eka telah menerbitkan puluhan buku cerita anak pada skala nasional yang dapat diakses gratis untuk pembaca yang dia cintai. Puluhan karya-karya Eka dapat ditemukan di berbagai platform antara lain literacy cloud, let's read, budi Kemdikbud dan sekolah enuma. Karyanya juga dapat ditemukan di Google Scholar. Eka pernah menjadi bagian dari Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah. Eka dikenal karena dedikasinya terhadap pengembangan pendidikan dan Literasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Orang Dewasa Berpikir dan Anak-Anak Terus Mencari Makna

15 Oktober 2025   07:04 Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:37 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari buku Teman Istimewa Oleh Eka Yuliati diilustrasikan oleh Matahari Indonesia untuk Let's Read

Dunia pada masa Yunani kuno memandang segala yang terjadi di alam semesta dipahami sebagai bagian dari kosmos yang harmonis, dijaga dewa-dewi dan dipenuhi mitos. Manusia percaya ada tatanan besar di balik petir, hujan, dan nasib. Saat itu, mitos membantu manusia memaknai kehidupan.Thales, Sokrates, Plato, dan Aristoteles berusaha memahami hukum alam, etika, dan tujuan hidup. Mereka menggali makna dari keteraturan kosmos lewat akal.
Setelah berabad-abad manusia memandang dunia sebagai tatanan kosmos yang indah dan rasional, filsafat klasik menutup tirainya dengan warisan besar yaitu cara berpikir logis dan keyakinan bahwa akal dapat menyingkap hakikat kebenaran. Dari Thales hingga Sokrates, manusia diajak mengenali dunia luar. Dari Plato dan Aristoteles, perhatian beralih pada ide, logika, dan etika. Mereka menyingkap bagaimana manusia mencapai kebajikan dan memahami tujuan hidup.

Namun, babak baru dimulai ketika Kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan menempatkan Gereja di pusat ilmu pengetahuan. Rasio berpadu dengan wahyu, dan penjelasan logis tunduk kepada iman. Selama ratusan tahun, manusia mencari kebenaran lewat dogma, hingga akhirnya Renaisans mengguncang peradaban Eropa. Para pemikir dan seniman menghidupkan kembali semangat Yunani dan Romawi, tubuh manusia dan keindahan alam dipuja, kebenaran dianggap bisa ditemukan lewat pengamatan, bukan hanya kitab suci. Copernicus, Galileo, dan Newton menunjukkan bahwa alam tunduk pada hukum yang pasti, bukan mukjizat.

Di saat itulah filsafat beralih dari penjelajahan kosmos menuju kesadaran diri manusia. Pengalaman manusia menjadi poros segala pengetahuan, dan metode ilmiah menggantikan prinsip teologis. Plato dan Aristoteles menyerahkan tongkat estafet itu kepada Descartes, Bacon, Locke. Manusia tidak lagi mencari makna di langit, tapi di dalam pikirannya sendiri. Rasionalisme dan empirisme menjadi dua arus besar filsafat modern, dari keraguan Descartes hingga revolusi pengalaman Kant. Dunia yang tadinya penuh keteraturan kosmik berubah menjadi tempat refleksi batin. Manusia menyadari dirinya adalah pusat makna yang selalu bergerak, pantarei, semuanya mengalir dalam benak Herakleitos.

Transisi ini ternyata juga terjadi dalam dunia anak-anak, khususnya saat mereka mulai belajar membaca. Pengalaman awal membaca dinilai banyak guru sebagai proses teknis dan mekanis. Membaca dilihat sebagai proses  menghafalkan rangkaian huruf, suku kata, dan aturan bunyi. Padahal huruh hanya simbol tak bermakna jika tak dilogikakan lewat cerita. Orang Indonesia menggunakan bahasa tutur. Jika bahasa tutur dihilangkan, semua tanpa makna. Anak-anak digiring untuk mengenal huruf hanya sebagai bentuk dan mengucapkan kata. Seperti dunia klasik yang melihat alam sebagai simbol dan aturan.

Namun, ketika dunia berkembang dan pengetahuan bergerak ke ranah kesadaran, proses membaca pun berubah. Literasi membaca kelas awal di Indonesia kini didorong untuk menyeimbangkan antara penguasaan teknik dan penciptaan makna. Anak tak sekadar membaca kalimat, tapi diajak bertanya, memahami, berimajinasi. Mereka belajar menafsir cerita, memasukkan pengalaman pribadi, dan membentuk jati diri melalui teks. Guru diundang untuk menanyakan pertanyaan kritis pada anak, pertanyaan prediksi dan koneksi.

Dalam tulisan saya sebelumnya, Jana Tak Mau Tidur,  Jana menjadi simbol anak yang mencoba menafsir dunia. Padahal ketika dunia dewasa sibuk dengan logika dan rasio, anak justru berpetualang di dunia mitos. Mereka melihat simbol, menemukan makna di balik cerita. Kisah Jana adalah jembatan antara filsafat klasik dan modern. Anak belajar berpindah dari sekadar mengenali tanda-tanda menuju penyelaman makna.

Apa yang telah terjadi dalam sejarah filsafat, peralihan dari kosmos menuju kesadaran individu, juga terjadi setiap hari di ruang kelas melalui proses membaca. Kegiatan literasi bukan hanya urusan huruf dan kata, melainkan proses manusia menemukan makna, bertanya, mengimajinasikan dunia di benaknya. Setiap anak yang berhasil memahami cerita layaknya Jana, sedang mengalami perjalanan filsafatnya sendiri. Dari keteraturan bunyi ke kedalaman makna, dari sekedar membaca ke berani menjadi pusat pengetahuan.

Jika dulu filsafat mengejar harmoni kosmik, kini manusia modern dan anak-anak di sekolah mencari harmoni batin, mengintegrasikan logika dengan imajinasi, rasionalitas dengan mitos, sains dengan cerita. Proses membaca berimbang menjadi refleksi dari perjalanan modern. Anak-anak, seperti para filsuf terdahulu, terus bergerak dalam arus waktu, selalu mencari dan membangun makna untuk dirinya sendiri.

Seperti kata Herakleitos, kehidupan, pengetahuan, dan pencarian makna itu pantarei, mengalir tanpa henti. Dalam kosmos, dalam kesadaran, dan dalam setiap halaman buku bacaan anak.

Salah satu buku saya mengangkat cerita Samu, si ikan buntal dari  cerita yang berjudul Menunggu Teman Istimewa. Di dasar laut, Samu ikan buntal kecil memahat pasir untuk menyambut teman impian. Ia berharap harmoni dalam karya pasirnya, namun persis seperti dunia yang berubah, ia menghadapi tantangan dan gangguan yang memaksa Samu berefleksi. Ketekunan dan rasa ingin tahu membawanya bertemu teman yang sebenarnya. Ini bukan sekadar hasil karya, melainkan proses memaknai perubahan, menerima kegagalan, dan akhirnya menemukan makna sejati lewat persahabatan. Kisah ikan buntal ini bukan fiksi, namun fakta yang dikemas dalam cerita.

Samu dan Jana sama-sama menjadi simbol perjalanan pembelajaran yang holistik. Dari sekadar membangun pengetahuan teknis, menuju pencapaian pemahaman batin. Dalam setiap proses literasi, anak bergerak dari kosmos yang teratur ke kesadaran diri, dan akhirnya menemukan makna di antara arus kehidupan yang selalu mengalir. Pantarei!  Membaca, berpikir, dan hidup adalah perjalanan tanpa ujung. Yang abadi, justru adalah perubahan dan pencarian makna itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun