Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Februari Biru

7 Februari 2019   14:30 Diperbarui: 7 Februari 2019   14:31 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini aku menatapnya ragu. Entah apakah dirinya masih mengingatku atau tidak. Yang jelas aku masih mengenalinya sekalipun sudah puluhan tahun kami tidak berjumpa. Bahkan saling menyapa di dunia maya pun tak pernah. Aku tahu semua memang salahku, aku yang telah menyakiti hatinya. Tapi aku juga sudah meminta maaf atas pilihanku saat itu. Pilihan untuk tidak melibatkannya dalam kehidupanku yang kacau balau. Biarkan saja dirinya masih menganggapku sebagai lelaki baik-baik, bukan lelaki lemah seperti ini adanya. Aku tak bisa memilih jalan hidupku sendiri, itu suatu kelemahan yang hingga kini kusesali. Seandainya saat itu aku mampu mengabaikan apa yang terjadi pada keluargaku lalu berlari padanya, mungkin dirinya masih dengan senang hati membantuku. Namun kenyataannya justru aku malah melukainya secara sepihak. Aku sangat merasa berdosa.

Gerimis ini seolah menyeretku dalam pusaran waktu sepuluh tahun yang lalu. Saat kehadirannya selalu kunantikan. Canda tawanya, keceriaannya selalu menjadi pengobat rasa sakit hatiku. Aku selalu memimpikannya, seorang gadis yang mampu menyelesaikan segala persoalan dan masalahnya tanpa airmata. Seorang gadis yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Seorang gadis yang pernah kucinta.

Aku benci menyibak masalaluku kembali. Seperti halnya aku benci mengingat momen sakral pernikahanku sepuluh tahun yang lalu. Istri  pilihan Mama Papaku yang kini meninggalkanku terpuruk sendirian. Aku salah, aku menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak kucintai. Hingga pernikahanku dan dengannya tidak sepi oleh konflik batin. Mungkin dari awal istriku sudah curiga mengapa aku tidak pernah bisa menyayanginya sepenuh hati.

"Dokter Bastian" tegur perawat yang berada di sebelah kananku.

Sejenak aku terbangun dari lamunanku. Perempuan yang sedari tadi kuamati pun telah menghilang. Aku memang tidak berhak mengejarnya kembali. Apalagi perempuan itu bukanlah gadis seperti dulu kala. Gadis yang sering kuajak bermain sepak bola. Gadis yang tertawa ceria saat aku menceritakan kisah-kisahku. Gadis yang membuat suasana hatiku yang keruh menjadi lebih berwarna. Perempuan itu kini sudah berstatus sebagai istri dan ibu dari dua anaknya.

"Dokter, ada pasien yang mau bertemu" tegur perawat.

"Baik, saya tunggu di ruang praktik ya" kataku.

"Baik Dok"

Segera kulangkahkan kaki menuju tempat praktikku. Ruangan bercat dan beraksesoris serba  putih inilah satu-satunya tempat pelampiasan kesepianku. Kucoba professional untuk memeriksa dan mengobati setiap pasien yang datang. Semasa SMA ini adalah profesi yang menjadi cita-cita sebagian besar teman sekelasku, tak terkecuali perempuan itu.

Bayangn tentang Ganesha masih juga mengusikku. Bagaimana bisa otakku tak pernah habis memikirkannya. Apalagi sejak aku melihatnya beberapa menit yang lalu. Seolah semuanya menjadi tak terkendali. Jantungku berdetak tak menentu. Rasanya ingin aku menyapanya, mengajaknya bercanda dan bercerita seperti dulu. Apalah daya, bahkan dengan menggunakan jas putih kebanggaanku aku tak mampu menyapanya.

Kudengar suara ketukan di pintu, itu pasti pasien pertamaku hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun