Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terindah

19 Oktober 2018   12:53 Diperbarui: 19 Oktober 2018   12:55 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini hujan mengguyur cukup deras. Aku segera menjemur jas hujanku  ketika tiba di kantor. Bunyi keroncongan perutku terdengar cukup keras, belum sempat  aku sarapan. Tadi pagi aku bangun kesiangan. Dan ternyata seragam hari  kamisku belum aku setrika, maklum kemarin aku kebagian piket hingga  pulang larut malam.

"Assalamu'alaykum" sapa Deni, teman satu ruangan denganku. Rupanya dia datang lebih awal dari aku.
"Wa'alaykumsalam ." Jawabku seraya bersalaman dengannya.
Kulihat Deni asyik menikmati sarapan paginya.
"Wah enak ya yang sudah punya istri...." Sindirku.
Deni tersenyum padaku, "Lha kamu sendiri kapan rencana nikah? Sudahlah Rama, tidak usah pilih-pilih"

Aku  tersenyum kecut menanggapi sindiran Deni. Deni baru menikah sekitar  tiga bulan. Isterinya adalah karyawati kantor sebelah. Antara kantor  kami dan kantor sebelah masih di bawah satu bendera perusahaan. Hanya  saja kantor sebelah bekerja di bidang maintenance.
"Esa sempat ya  masak? Biasanya kalau perempuan kerja itu tidak sempat masak" tanyaku  memastikan bahwa masakan yang disantap Deni adalah masakan isterinya.
"Esa itu wanita yang luar biasa Ram, dia selalu menyempatkan diri untuk memasak buat suaminya."
"Wah, beruntung sekali kamu"
"Ya mungkin sudah rezekiku, walaupun sebenarnya baik Esa maupun aku tidak pernah berpikir kami menikah"
"Kok bisa?"
"Esa menunggu seseorang menyadari kehadirannya tapi rupanya orang tersebut tidak pernah menyadari."
"Dia naksir cowok lain, begitu maksudmu Den?"
"Yup... seandainya saja lelaki itu menyadari mungkin aku kalah saing...hehehe"
"Wow, sosok Deni yang begitu intelek dan optimistis bisa juga pesimis. Berarti lelaki itu hebat banget dong"
"Yup...." Jawab Deni seraya mengemasi peralatan sarapannya.

Aku  mengenal Esa lebih dari setahun yang lalu. Mungkin aku lebih  mengenalnya daripada Deni. Aku sendiri pun tidak pernah berpikir Esa  akan menikah dengan Deni. Deni adalah pribadi yang kaku, dan dia bukan  tipe laki-laki yang mudah bergaul dengan wanita. Berkebalikan dengan Esa yang lulusan perkuliahan teknik, dia terbiasa bergaul dengan laki-laki. Aku  sendiri pun sering berhubungan dengan Esa.

Esa bukanlah wanita  yang cantik. Tapi dia termasuk wanita cerdas. Lulusan perguruan tinggi  negeri ternama dan masuk kuliah tanpa tes. Belum lagi dia menyelesaikan  pendidikan SMA dalam kurun waktu dua tahun. Itu semua aku tahu dari  profil yang dia tulis di facebook, yang baru aku baca seminggu lalu.  Semua pendidikan mulai SMP sampai bangku kuliah dia menerima beasiswa.

"Seandainya  ada wanita yang cerdas tapi gak cantik, suka sama kamu, dan dia dekat  sama kamu lalu wanita itu tahu semua kebiasaanmu, dia bisa memahami  kamu. Kira-kira kamu bakal berpikir untuk menikahi dia nggak?" Tanya  Deni tiba-tiba.
"Masih belum terpikir"
"Berarti kamu hanya melihat outer beauty saja dong?"
"Kan isteri itu harus enak dipandang, jadi suami tidak sampai melirik-lirik wanita lain"
"Bukannnya seorang lelaki bisa menikahi empat wanita"
"Hmmm... isteri juga mestinya berada di rumah, memasak, menjaga rumah dan mendidik anak-anak"
"Yup, ideal sekali kriteriamu. Cantik, cerdas, dan ibu rumah tangga."
"Itu simple"
"Padahal kebanyakan wanita cantik kan suka menghamburkan uang."
Aku menatap Deni dengan curiga, "Memangnya Deni mau membawa pembicaraan ini ke arah mana?"
Deni menatapku tajam, "Tadi malam aku sempat tanya ke isteriku mengapa dia enggak pernah mau mengunjungi ruangan kerjaku"  
"Memangnya kenapa Den?"
"Karena dulu dia sempat suka sama kamu."
Aku tertawa kecil. Pembicaraanku dengan Deni membuatku semakin gerah. Ini terlalu serius untuk dibicarakan di pagi buta.
"Sudahlah Sob, itu kan masalalunya Esa. Masa' sekarang kamu cemburu sama aku?"
"Aku  bukannya cemburu tapi aku malah sempat berpikir ketika kamu baru  memasuki ruangan ini pagi tadi. Seandainya saja yang baru memasuki  ruangan itu aku dan aku melihatmu sedang menyantap makanan buatan  isterimu betapa irinya diriku."

Aku menatap Deni dengan pandangan  serius. Ya, itu juga perasaan yang aku rasakan awal tadi. Rasa iri pada  Deni. Dan seandainya boleh jujur aku malah merasa iri ketika Deni  memberitahuku tentang perasaan Esa kepadaku.
Selama ini aku hanya  menganggap Esa sebagai adikku sendiri. Walaupun sebenarnya dulu aku  sempat merasa kesal pada Esa. Rasa kesal yang tidak beralasan. Mungkin  karena dia kerap ada di mana aku berada.
Kini aku merasa terhempas oleh impianku sendiri. Aku kerap bermimpi tanpa melihat kondisi sekitarku.

"Assalamu'alaykum" seorang wanita berhijab memasuki ruangan kantorku.
"Wa'alykumsalam" jawabku dan Deni bersamaan.
"Wah, ada apa nih Umi?" Tanya Deni.
"Kangen sama Abi..."jawab Esa manja
"Masa' sudah kangen sih Mi" sahut Deni
Aku menatap Esa, ada yang berubah dari sikapnya. Sekarang dia terlihat begitu ceria.
"Mas  Rama sudah baikan? Esa denger minggu kemaren Mas Rama sakit sampai  harus dirawat di rumah sakit" Esa menatapku penuh tanya.
"Yup...terkena DB. Sekaligus kecapekan..." jawabku.
"Makanya cepat cari isteri Mas...biar ada yang ngurusin"
"Iya Sa, mohon doanya ya..."
"Insya Allah"
"Ya biar ada yang masakin...."
"Hehe...iya Mas, cari yang bisa masak. Jangan yang seperti Esa"
"Lho bukannya Esa tadi pagi masakan Deni"
"Hehe...masak sebisanya Mas"
"Lain kali Mas Deni-mu aja yang suruh masak. Dia suka mbuat penyetan"
"Oh iya?" paras Esa bebinar seraya melayangkan pandangan kea rah Deni.

Ada  rasa cemburu merayap dalam hatiku. Seandainya Deni adalah aku. Betapa  bahagianya aku diperhatikan. Ah mungkin belum waktunya untuk menjalin  cinta atas nama Allah....
Semua kisah dalam kehidupan ini telah diatur  oleh-Nya. Telah tertulis kehidupan, kematian, rezeki dan jodoh dalam  Lauhul Makhfudz-Nya. Semoga segala yang tertulis itu adalah yang  terindah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun