Ketika penularan korona dan kematian pasien covid19 terus meningkat, pemerintah berani memerintahkan rakyatnya untuk tetap di rumah all night and day long. Ibadah berjamaah di mesjid pun dilarang. Mall atau super market dibatasi jam operasionalnya. Kerumunan massa dibubarkan. Ini semua dilakukan, katanya, untuk mengurangi penyebaran virus ganas Covid-19.
Di sisi lain, pemerintah ternyata tak punya nyali untuk menunda pelaksanaan pilkada. Ia tak tegas. Padahal pelanggaran protokol kesehatan, --pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah beberapa pekan lalu-- sangat marak. Ini baru tahapan pendaftaran.
Potensi pelanggaran protokol kesehatan diyakini bakal lebih marak ketika masuk masa kampanye, seperti pertemuan yang melibatkan massa, rapat umum, konser, dan arak-arakan. Di hari pencoblosan pun, bukan tak mungkin kalau massa akan tumplek blek di sana. Â
Meski ada puluhan petugas KPU yang terkonfirmasi positif covid-19, serta tren penularan covid-19 yang semakin meningkat, pemerintah bersikukuh pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal.
KPU memang akan merevisi dan menetapkan aturan-aturan yang dianggap perlu untuk mencegah kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan lainnya, tapi semua itu tidak serta merta menghilangkan kerawanan pilkada dari wabah covid-19.
Kalau memang mencitai rakyat, lebih baik pilkada ditunda demi keselamatan ummat. Siapa sebenarnya yang dirugikan dari penundaan pelaksanaan pilkada? Rakyat, politisi atau pemerintah ? Au ah gelap.- ***