Mohon tunggu...
Eka Kurnia Hikmat
Eka Kurnia Hikmat Mohon Tunggu...

Trainer & Konselor Partner to Grow

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merayakan Integritas ala Harper Lee

22 Oktober 2010   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: To Kill a Mockingbird Penulis: Harper Lee Penerbit: Qanita, April 2008 Tebal: 533 halaman Perkenalan saya dengan buku "Teaching Moral Reasoning: Theory and Practice" (Arbuthnot & Faust, 1981) menyambungkan dengan karya Harper Lee ini. Menurut Arbutthnot & Faust novel "To Kill Mockingbird" ini layak dibaca karena menyediakan pendidikan moral yang penuh makna. Saya menemukan rahasia novel ini dalam sepenggal kalimat berikut. "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya ... hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya" (hal 66). Dalam sebuah masa, membaca novel buat saya hanya wasting time. Tapi, berkat To Kill a Mockingbird, persepsi saya tentang novel berubah total. Novel pun bisa mengubah Anda. Mampu menjadi medium pencerahan! Ketimbang hanya mendengar atau membaca slogan berbau nasihat-semacam Mari berbuat baik! Bersikap jujurlah! Hilangkan prasangka! Capailah integritas! Jadilah seorang terhormat!-yang mungkin hanya akan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan, novel bermutu mampu menginspirasi kita dengan caranya sendiri. Berlatar belakang Maycomb County, Alabama, tahun 1930-an, Harper Lee, penulisnya, bercerita tentang kisah Atticus Finch-seorang duda beranak dua, yang juga seorang pengacara. Atticus menjalani integritas yang hampir mustahil dilakoni bahkan pada saat itu. Kisah Atticus dituturkan melalui kacamata anaknya, Scout-seorang bocah polos tomboi berusia delapan tahun-yang melewati petualangan demi petualangan seru khas anak-anak bersama kakaknya, Jem, dan temannya, Dill. Maka tidak mengherankan jika novel dengan tema seberat ini akan terasa ringan, mengalir, dan jenaka saat Anda baca, meskipun tetap sarat makna. Dikisahkan, Atticus adalah seorang yang rendah hati meskipun sesungguhnya ia memiliki segudang hal yang bisa dibanggakan. Ia selalu berbuat baik pada siapapun, termasuk kepada orang yang memperlakukannya secara buruk. Sementara orang-orang di sekitarnya banyak yang melancarkan prasangka pada orang-orang yang tidak sama dengan mereka, Atticus selalu berbaik sangka pada siapapun. Ia selalu berusaha memahami dan melihat sisi baik setiap orang. Ujian terberat terhadap integritas Atticus datang ketika ia membela seorang terdakwa berkulit hitam yang dituduh memperkosa gadis berkulit putih. Saat diskriminasi rasial masih lumrah terjadi, aksi pembelaan Atticus ini membuatnya hampir kehilangan kedua belahan jiwanya. Namun, Atticus tetap menjalaninya dan membuktikan prasangka dan stereotype seringkali membutakan manusia sehingga ketidakadilan tak bisa tegak di muka bumi. Dan perhatian pada persamaan hak ini telah mengantar Harper Lee menerima anugerah Presidential Medal of Freedom 2007, The Highest Civilian Honor USA. Di antara sederet kelebihan novel ini, saya mencatat dua hal istimewa. Pertama, novel ini menginspirasi kita untuk menjalani integritas seperti yang ditempuh Atticus. Orang yang menjalani integritas didefinisikan secara sederhana dalam buku ini sebagai orang yang berperilaku sama di dalam maupun di luar rumah (hal 96). Integritas, yang dekat maknanya dengan kejujuran dan rasa keadilan, sering didengungkan banyak orang. Namun, saat ada momen di mana integritas benar-benar dituntut untuk ditunjukkan, biasanya hanya ada satu dua orang semacam Atticus yang benar-benar berani mempertaruhkan segala yang dimilikinya demi tegaknya kebenaran. Ini umum terjadi hampir di sepanjang sejarah. Oleh karenanya meskipun novel ini terbit pertama kali pada tahun 1960, pesan moralnya akan relevan sampai kapan pun. Maka tak mengherankan jika selain meraih Pulitzer Prize Winning for Fiction tahun 1961, novel ini pun menjadi novel terlaris sepanjang masa versi Guinness Book of World Records. Kedua, tanpa doktrinasi, Harper Lee mengajari kita cara membesarkan cara anak yang ideal. Melalui Atticus, Lee berpesan bahwa cara terbaik mendidik anak adalah dengan practice what you preach, praktikkan yang kau khotbahkan. Atticus menjadi model bagi anak-anaknya menjadi seorang terhormat. Ia juga terbiasa mendiskusikan segala sesuatu dengan anak-anaknya sehingga iklim demokratis tercipta di rumah mereka. Kehormatan yang dijunjung tinggi Atticus dan penghormatan yang Atticus berikan pada anak-anaknya membuat mereka pada gilirannya meneladani dan berusaha memegang teguh harapan Atticus atas diri mereka. Ada hal unik di balik novel yang ditulis Lee ini. Banyak kesamaan antara kisah dalam novel ini dan latar belakang Lee sendiri. Di antaranya, Lee berasal dari Alabama, seusia Scout pada 1930-an dan memiliki ayah seorang pengacara yang memiliki nama tengah Finch. Sehingga bukan tanpa alasan jika setelah membaca novel ini, kita terdorong untuk berasumsi bahwa Lee tengah menceritakan kisah hidup dan kekagumannya yang mendalam terhadap ayahnya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun