Mohon tunggu...
Egiwandi
Egiwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Melawan Hegemoni Budaya Ditinjau Dari Novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga

12 Maret 2024   22:29 Diperbarui: 13 Maret 2024   00:14 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dari AI

Novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga yang ditulis oleh Willy Hangguman. Merupakan sebuah karya sastra yang menarik. Novel ini mengangkat dua tema penting, yaitu budaya Manggarai dan perkembangan Gereja Katolik di Manggarai (Flores). Penulis berhasil menggambarkan realitas  kehidupan masyarakat Manggarai pada tahun 1932 hingga masa pasca kemerdekaan.

Novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga ini, secara teliti menggambarkan sejarah perkembangan Gereja Katolik.  Pada 1932, pewartaan Injil  sudah tersentuh di bagian pelosok Manggarai. Banyak Misionaris pada waktu itu  membaptis orang Manggarai  menjadi Katolik.

Proses perkembangan misi Gereja ini tidak memiliki banyak tantangan karena masyarakat pada waktu itu sangat menerima kedatangan mereka. Para misionaris tidak hanya berkarya dalam bidang pewartaan melainkan dalam bidang pendidikan. Mereka  telah mendirikan banyak gereja, sekolah pertukangan dan sekolah biasa.

Uskup pertama waktu itu bernama Uskup Arnold Vestraelen. Ia mempunyai spirit Para Rasul. Ia selalu menegaskan bahwa warta kabar gembira itu tidak harus diwartakan oleh pastor-pastor dari Eropa. Mereka harus dibantu oleh pastor setempat atau pribumi .

Uskup ini memimpikan untuk  mendirikan sebuah seminari para iman.  Demi mewujudkan misinya ini, ia menugaskan Pater Frans  Cornwlisssen  SVD untuk membangunkan seminari pertama di Sikka pada tahun 1926. Setelah beberapa tahun kemudian, seminari tersebut dipindah ke  Mataloko -- saat ini Kab Ngada. Tepatnya pada tahun 1929.

Situasi awal novel ini, menceritakan seorang perempuan bernama Molas (Bahasa Manggarai artinya cantik) yang sedang melakukan perjalanan pulang dari bandara Soekarno-Hatta ke kampung halamannya. Dalam perjalanan pulang ini, ia teringat kembali sejarah hidupnya. Mulanya seorang gadis desa yang kini menjadi seorang guru.


Perjuangan untuk menjadi seorang guru, sanggatlah sulit baginya.  Ia dihadapkan dengan mitos dan hegemoni budaya patriarki. Masyarakat setempat meyakini bahwa sekolah itu membuat manusia menderita bahkan mati. Mitos ini sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil, banyak anak-anak takut sekolah. Mereka hanya menghabis waktu dengan bekerja di kebun dan bermain.

Akan tetapi, ada seorang dalu (Manggarai: perpanjangan tangan raja) yang mematahkan mitos ini dan mencoba meyakinkan anak-anak bahwa sekolah tempat yang paling menyenangkan untuk mereka.  Di sekolah mereka banyak menimba  ilmu. Karena pribadi mereka dibentuk dan dibina, mereka dapat menjadi orang yang berguna di masa yang akan datang. Pernyataan dalu tersebut membuka cakrawala baru bagi Molas.

Ia pun memberanikan diri untuk masuk sekolah rakyat. Sekolah rakyat ini menjadi tempat pertamanya untuk meraih impian menjadi seorang guru. Ia sangat tekun belajar dan menjadi seorang siswa unggulan di sekolahnya. Karena ia adalah siswa unggulan, maka guru yang membimbingnya merekomendasi Molas untuk masuk sekolah standar di Ruteng, saat ini pusat kota Manggarai. Sekolah standar ini dibangun oleh para Misionaris Belanda.

Di kampung halamannya juga, selalu dikunjung oleh Tuan Pastor (sebutan orang Manggarai untuk para imam) dari Negeri belanda. Orang-orang sekampung menyambut tuan pastor dengan upacara adat yang dipimpin oleh kepala kampung atau tua gendang. Bagi masyarakat Manggarai pada waktu itu, kehadiran seorang pastor menjadi tamu istimewa.

Sebagai seorang gembala jiwa, Tuan Pastor tentu mencari domba-domba yang tersesat. Ia selalu menyediakan waktu untuk duduk berjam-jam sambil mendengarkan pengakuan, memberi absolusi, membaptis katekumen, merayakan ekaristi dan memberikan minyak suci.

  

Pada saat merayakan ekaristi, ia selalu berkhotbah dengan baik, dan selalu memberi motivasi kepada umat.  Terutama pentingnya sekolah. Hal ini diungkapkannya "aku bisa datang jauh dari belanda karena sekolah".

Setelah tamatan dari sekolah rakyat, Molas melanjutkan jenjang pendidikannya di sekolah standar. Di sekolah standar ini, ia bertemu dengan bayak temannya dari pelbagai tempat. Hal yang membuat ia terkesan adalah ketika saat ia berjumpa seorang suster. Suster itu selalu memberi motivasi di setiap ia kehilangan harapan. Ia menganggap bahwa suster ini adalah ibu kadungnya.

Di sekolah standar ini, Ia menghabiskan waktunya dengan sukacita.   Ia tekun belajar, berdevosi, dan mengikuti perayaan ekaristi bersama teman-temannya setiap pagi. Pada masa-masa ini, Gereja Katolik Manggarai masih corak Pra konsili Vatikan kedua. Hal ini dilihat saat ekaristi, iman selalu membelakangi umat.

Dalam perjalanan waktu, cita-cita yang pernah membara dalam dirinya mulai memudar dan sirna. Ia terjebak dalam dilema antara cinta dan keluarganya. Seiring berjalannya waktu, ia semakin merasakan betapa sulitnya menjalani hidup dengan beban yang begitu berat.

Ketika orang tuanya memaksanya untuk berhenti sekolah karena ada seorang laki-laki yang ingin meminangnya, hatinya terasa hancur. Cita-citanya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan mewujudkan impian-impian besar menjadi terhenti di tengah jalan. Ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran kehidupan yang sempit, di mana pilihan-pilihan hidupnya ditentukan oleh orang lain karena sistem patriarki masih kuat. 

Input sumber gambar AI
Input sumber gambar AI

Salah satu konsep budaya Manggarai yang masih melekat pada waktu adalah konsep ata peang (perempuan) dan ata one (laki-laki). Anak laki-laki disebut "orang dalam klan" karena anak laki-lakilah yang akan menjaga keluarga di kampungnya. Sedangkan ata peang (perempuan) disebut orang luar[1] atau tidak dianggap dalam suatu marga. 

 

Walaupun di tengah arus budaya yang kuat ini,  Molas rupanya melawan benteng hegemoni budaya patriarki ini.  karena menurutnya setiap orang harus mendapat hak dan kebebasan sama baik itu laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara.

 

Molas tetap setia dan teguh dalam setiap komitmen. Ia tidak pernah berhenti berjuang untuk meraih cita-citanya. Hal ini terbukti saat orang tuanya tidak menyetujuinya untuk  melanjutkan sekolah. Hal yang menarik di sini ia tidak pernah menolak secara langsung apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Ia selalu mencari akal supaya orang tuanya selalu meyakinkan dia. 

 

Sebenarnya ini sebuah strategi dari Molas agar ia menembusi batas budaya patriarki yang sangat melekat pada waktu itu. pada dasarnya ia ingin menjadi manusia bebas. Bebas untuk melakukan apa saja seperti bebas untuk berekspresi. Bebas untuk berbicara dan bebas untuk menentukan sendiri.

 

Di tengah perjuangan yang sulit ini, ia berhasil melewatinya dengan cara lari dari rumah hanya untuk mengadu nasib di Ndona (Ende). Kota Ndona  menjadi tempat yang terakhir ia harus berlabuh untuk mengubah cita-citanya menjadi seorang guru. Perjuangannya tidak terlepas dari sahabat karibnya yang mana sahabat karibnya selalu mendukung saat ia mengalami kesulitan. 

 

Perlu diketahui bahwa sejarah bukit  Ndona ini, ditemukan sendiri oleh Uskup Petrus Noyen SVD yang di tunjukkan oleh Vatikan menjadi Perfektur Apostolik kepulauan sunda kecil yang jadi diwilayah kegembalaannya membentang dari Bali sampai Timor. Uskup Petrus Noyen SVD juga menjadi uskup pertama untuk daerah ini.

 

Molas teringat persis ketika ia tidak memiliki cap jempol sebagai tanda persetujuan orang tuannya. Peristiwa ini membuat dia lemah, lesu dan tak berdaya. Ia seperti kehilangan harapan seolah-olah fajar timur di kota Ndona tidak memberi ruang untuknya. Namun, disituasi yang mencekam ini, muncul seorang bernama Katarina yang membantunya agar ia bisa keluar dari situasinya.

 

Katarina menyuruh Molas untuk mengambil surat tanda persetujuan orang tuanya. Dan Molaspun menyetujuinya. Dengan ide cemerlangnya,  Molas  akhirnya mempunyai cap jempol lewat kaki mungilnya Katarina. Hatinya Molas merasa bahagia karena melalui surat ini, masa depan akan membuka untuknya dan membiarkan dia bereksplorasi sesuai dengan keinginannya. Dan akhirnya ia terima di sekolah standar guru (SGB). Sekolah Standar Guru ini menjadi tempat yang  ia idolakan kini telah menjadi nyata.

 

            Setelah dua bulan kota Ndona, Molas mengajak teman-teman untuk menyelusuri kota Ende yang tidak jauh dari Ndona. Ende waktu itu, menjadi pusat ibukota Flores. Nama  Flores ini dibaptis oleh orang Portugis bernama Antonio  de Abreau. Ia melihat ujung pulau Flores bagaikan bunga. Cape of Flores  yang artinya tanjung bunga.[2]

 

Ia akhirnya menjadi seorang sukses. Ia selalu teringat pesan leluhurnya bahwa orang Manggarai selalu mengidentikkan dengan bulbul. Orang Manggarai boleh pergi jauh, boleh terbang tinggi untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik lagi, tetapi tidak boleh melupakan kampung halaman.

 

            Hal ini dilukiskan dalam salah satu syair lagu orang Manggarai " ngkiong le poco, berbunyi  ngkiong e, neka oke kuni agu kalo yang artinya jangan lupa kampung halaman.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun