Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menakar Prokontra Pindah Ibu Kota

11 Februari 2022   23:27 Diperbarui: 11 Februari 2022   23:53 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana pindah ibukota sempat ramai diperbincangkan pertengahan akhir Januari lalu. Ramai suara penolakan bermunculan, tetapi pemerintah masih meng'gaspol' kebijakan ini yang bahkan undang-undangnya telah rampung disahkan. UU IKN telah disahkan 18 Januari lalu, dan wilayah Kalimantan Timur dipilih sebagai ibukota baru negara ini.

Narasi memindahkan ibukota dari Jakarta sebenarnya sudah lama dibincangkan. Kondisi Jakarta saat ini dianggap sudah tidak lagi layak menjadi pusat administrasi bahkan representasi Indonesia. Permasalahan akut dan kompleks Jakarta menjadi alasan pemerintah memindahkan ibukota. 

Di antara permasalahan Jakarta yang menguatkan tekad pemerintah memindahkan ibukota antara lain permasalahan banjir, kriminalitas, kerusakan lingkungan hingga alasan pemerataan pembangunan dan pembangunan ekonomi. Atas pertimbangan tersebut, pindah ibukota dipilih sebagai opsi terbaik dan terurgen untuk dilakukan.

Biaya yang digelontorkan untuk memotori pindah ibukota pun tidak main-main. Megaproyek ini diperkirakan akan menghabiskan setidaknya 499 Triliun rupiah. Biaya ini bahkan diduga akan membengkak dua sampai tiga kali lipat. Jelas, bukan jumlah yang sedikit terlebih di tengah perekonomian Indonesia yang tengah berusaha bangkit akibat terdampak pandemi Covid19. Apalagi saat ini angka kasus Covid19 di Indonesia kembali naik. Lantas, muncul pertanyaan masih urgenkah pindah ibukota saat ini?

Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam megaproyek ini, yakni antara lain: pembiayaan, dampak lingkungan hingga dampak bagi rakyat. Melansir dari analisis Dr. Arim Nasim, seorang intelektual muslim, berdasarkan analisis terhadap tiga poin tersebut, pindah ibukota bukan hal urgen saat ini bahkan cenderung membahayakan Indonesia.

Pertama, dari aspek pembiayaan. Skema pembiayaan megaproyek ini dinilai masih kabur, tidak jelas. Awalnya, pemerintah berjanji bahwa megaproyek ini tidak akan membebani APBN. Namun, banyak ahli mengkhawatirkan pemerintah tidak konsisten alias ingkar janji mengingat skema pembiayaan yang belum clear. 

Jika ternyata skema pembiayaan membebani APBN, dapat dipastikan rakyat lah yang kena getahnya karena sumber pemasukan APBN sebagian besar didapat dari pajak. Bahkan, sempat diberitakan bahwa megaproyek ini akan memanfaatkan dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang seharusnya digunakan untuk menggerakkan ekonomi pasca pandemi Covid19.

Kedua, dilihat dari aspek dampak lingkungan, megaproyek ini dipastikan meninggalkan dampak yang besar bagi wilayah yang didatangi. Apabila Jakarta ditinggalkan karena banjir, sebenarnya wilayah yang akan ditempati nanti juga sempat banjir parah tahun lalu. Selain itu, banyaknya penambangan di Kalimantan sebenarnya sudah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah tersebut. Tidak heran apabila masyarakat khawatir pindahnya ibukota ke wilayah Kalimantan justru semakin merusak ekologi Kalimantan.

Ketiga, dari aspek dampak kepada rakyat. Pada poin ini, Dr. Arim Nasim kembali menekankan bahwa apabila APBN dibebani, rakyatpun juga semakin terbebani. Terlepas dari itu, alih-alih berdampak langsung pada rakyat, megaproyek ini justru menguntungkan secara langsung kaum pemilik modal (oligarki kapitalis dan kapitalis asing) yang telah bermain di negeri ini. Setidaknya ada tiga sektor yang diuntungkan dari megaproyek ini antara lain: kompensasi lahan, pembangunan sarana prasarana dan penyewaan dan penjualan aset negara di ibukota lama. Belum lagi dilibatkannya asing seperti Tiongkok bahkan AS dikhawatirkan akan membahayakan kedaulatan negeri ini.

Dengan demikian, dari poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa pindah ibukota belum menjadi sesuatu yang urgen bagi negeri ini. Alih-alih menguntungkan rakyat, megaproyek ini justru menguntungkan oligarki kapitalis dan kapitalis asing.

Bukan berita baru bila kritik kepada penguasa hanya berhembus begitu saja dan dianggap angin lalu semata. Demokrasi kembali diragukan kredibiltasnya dalam mengakomodasi suara rakyat. Dijauhkannya pengaturan kehidupan publik dari agama ternyata menyulap kehidupan manusia menjadi buasnya hukum rimba. Tatanan hidup ini lah yang disebut dengan sekulerisme-kapitalisme. Bukan hanya soal permasalahan pindah ibukota, kecacatan sistem sekulerisme-kapitalisme juga bisa dilihat dari permasalahan akut Jakarta yang notabene menjadi penyebab narasi 'pindah ibukota' didengungkan. Ibukota yang baru nanti bisa jadi akan bernasib sama seperti Jakarta yang telah rusak wajahnya karena hawa nafsu manusia apabila tatanan hidup kita masih berasaskan sekulerisme-kapitalisme. Bukannya menciptakan solusi, megaproyek ini justru menambah lahan baru untuk 'ditanami' masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun