Mohon tunggu...
Egi Sukma Baihaki
Egi Sukma Baihaki Mohon Tunggu... Penulis - Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Penggemar dan Penikmat Sastra dan Sejarah Hobi Keliling Seminar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peran Pemuka Agama dalam Menjawab Masalah Lingkungan

9 Agustus 2019   15:31 Diperbarui: 9 Agustus 2019   15:36 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Narasumber Diskusi. Dok. Pribadi

Kerusakan alam terus terjadi seiring pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang membuat banyak negara harus memperluas wilayahnya dengan mendirikan bangunan-bangunan, menguras kekayaan alam demi memenuhi kebutuhan warganya yang terus meningkat. Pembalakan liar, pembakaran hutan, eksploitasi sumber energi yang berlebihan, hingga praktik membuang sampah sembarangan, merupakan bagian dari pemicu kerusakan lingkungan.

Mirisinya, seolah tidak sadar akan akibat yang bisa ditimbulkan, praktik-praktik perusakan lingkungan seolah tidak pernah berhenti. Padahal, perusakan alam tidak hanya berdampak pada rusaknya alam itu sendiri tapi imbasnya bisa merambah pada manusia di sekitarnya. Jika banjir dan tanah longsor terjadi dan menyebabkan banyak rumah terisolir, rusak, ekonomi lumpuh hingga menelan korban jiwa baru kita saling tunjuk menyalahkan.

Dahulu, nenek moyang atau orangtua dengan konsep “pamali” berhasil membuat kita untuk tidak kencing sembarangan, tidak sembarangan membuang sampah, tidak sembarangan menebang pohon. Mereka bahkan harus melakukan upacara tertentu ketika menanam padi, memanen dan lain sebagainya. 

Masyarakat pada akhirnya mempercayai akan ada hukuman “tulah” bagi mereka yang melanggar. Ajaran nenek moyang ini sebenarnya merupakan perwujudkan relasi hubungan baik antara manusia dan alam. Nenek moyang kita dahulu berusaha agar alam tetap lestari, hidup berdampingan dengan alam, tanpa merusaknya.

Usaha untuk mencegah kerusakan lingkungan sebenarnya sudah banyak dilakukan. Tapi praktinya alam harus selalu kalah oleh kepentingan manusia. Kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia atau dunia sebenarnya bisa dijawab oleh agama

Agama dengan penganut agamanya yang banyak tidak hanya berisikan ajaran, aturan dan nilai-nilai akhirat semata, tapi juga berisikan ajaran untuk berhubungan baik dengan sesama manusia. Tapi,  ada yang kerap dilupakan bahwa agama juga mengajarkan manusia untuk menjaga hubungan baiknya dengan alam semesta.

Dalam al-Qur’an misalnya, banyak sekali ayat yang mengingatkan agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Bahkan, dalam konteks penciptaan adam dan anak cucunya sebagai khalifah di muka bumi, malaikat se mpat tidak setuju karena merasa manusia akan membuat onar dan kerusakan di muka bumi. 

QS Ar Rum 14 bahkan secara gamblang menyebutkan keruskan di lautan dan daratan disebabkan oleh tangan-tanjang jahil keserakahan manusia dan orang lain juga akan merasakan dampak perbuatan mereka.

Tujuan penciptaan manusia selain untuk beribadah adalah mengelola alam semesta. Oleh sebab itu,  dalam konteks penciptaan Adam, Allah mengajarkan “Asma” yang oleh sebagian mufasir ada yang memaknainya sebagai nama-nama benda di dunia. 

Selama ini manusia menganggap bahwa sebagai wakil Tuhan di muka bumi mereka dapat dengan leluasa menguras alam. Padahal, makna khalifah sebagai wakil Tuhan secara tidak langsung membawa pesan bahwa manusia juga harus memelihara semua ciptaan Tuhan termasuk alam. 

Alam dan isinya diciptakan untuk manusia. Tetapi, pemanfaatannya haruslah sesuai dengan kebutuhan. Dalam Islam benda-benda mati, hewan dan binatang diyakini semuanya senantiasa bertasbih kepada Allah. Lantas jika eksplorasi yang berlebihan terhadap alam akan berdampak buruk bagi keseimbangan kehidupan. Oleh sebab itu, Islam selalu menenkankan agar tidak berlebihan.

Jika sampai kerusakan alam terjadi, sebenarnya para perusak lingkungan sudah diancam secara tegas dalam al-Qur’an. Qs. Al-Maidah ayat 33 menyamakan hukuman bagi orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dengan hukuman orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya yaitu di salib atau dibunuh atau dipotong tangan dan kakinya atau diasingkan.

Sayangnya, perusakan alam juga dilakukan oleh oknum-oknum umat beragama. Karenanya diperlukan sebuah kajian yang mendalam bagaimana peran agama dalam menjawab permasalahan lingkungan. Selama ini mungkin masih banyak yang berpikir bahwa agama hanya terkait dengan ritual dan ajaran-ajaran tertentu, tidak berisikan ajaran mengenai masala lingkungan.

Kajian Etika dan Peradaban (KEP) yang diselenggarakan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Yayasan Persada Hati dan Universitas Paramadina, di Auditorium Nurcholis Madjid,  Rabu, 31 Juli 2019 hadir dengan pembahasan “Agama dan Masalah Lingkungan. Diskusi ini menghadirkan  Romo Andang Binawan dan Pipip A. Rifai Hasan selaku pembicara dan dimoderatori oleh Parid Ridwanuddin.

Menurut Parid Ridwanuddin, isu-isu agama dan lingkungan khususnya dalam konteks agama Islam belum banyak mendapatkan ruang  khususnya di Indonesia. Berbeda dengan kondisi di luar negeri yang sejak tahun 80-an sangat progresif, sudah ada pertemuan ulama-ulama Internastional yang membahas isu lingkungan misalnkan saja pertemuan di Yordania yang dihadari oleh Hasan Hanafi, Wahbah Zuhaili dan lain-lain.

Selama ini lanjutnya, isu lingkungan banyak dikaji dan didekati dengan pendekatan hukum dan kebijakan. Cukup banyak aturan hukum dan kebijakan yang mengatur isu lingkungan termasuk sangki jika terdapat pelanggaran. Tapi nyatanya dalam praktik di lapangan justru tidak sesuai.

Agama sebenarnya memiliki peran untuk menjawab isu-isu lingkungan. Tapi potensi dan kandungan itu tidak banyak digali dan diketahui umat beragama. Menurut Romo Andang, ada enam potensi penting dalam agama yang bisa menjadi titik temu atau celah untuk menjawab isu-isu lingkungan. 

Potensi itu antara lain potensi internal berupa iman masing-masing individu, personal trust anggota terhadap agamanya terutama kepada pemimpin menjadi pontensi yang penting, potensi eksternal terkait institusi, dan sosial trust. Iman menurut Romo akan menjadi modal orang bisa menghayati seluruh pergumulannya berelasi dengan tuhan jika dia sudah berelasi dengan alam.

Sayangnya menurut Romo, selama ini umat beragama justru terhipnotis dan menelah mentah-mentah tafsir keagamaan Antroposentris. Karena itu perlu dilakukan upaya  mendekonstrunsi pandangan teologi kita untuk membenahinya.

Dalam praktik ritual keagamaan, nilai-nilai cinta lingkungan sudah seharusnya dimasukkan dan diajarkan oleh para pemuka agama misalkan saja dengan mengajarkan sikap untuk irit dan tidak berlebihan menggunakan air saat berwudhu atau bagaimana wudhu yang baik dengan hemat air. Usaha semacam ini bisa dilakukan para pemuka agama dengan menyisipkan nilai-nilai cinta lingkungan dalam praktik-praktik keagamaan.

Romo sendiri mencontohkan usaha yang bisa dilakukan di Katolik misalnya  dalam praktik ritual janji baptis janji disisipi janji untuk tidak merusak lingkungan hidup. Penyisipan ini secara internal itu masuk ke dalam kesadaran para penganut agama dan diharapkan bisa diaktualisasikan. Agama menurut Romo bisa memainkan empat porsi penting untuk mengatasi masalah lingkungan yaitu ikut memperbaiki, mengadvokasi, politik, dan membentuk habitus.

Pipip A. Rifai Hasan lebih menjelaskan bahwa perlu upaya pemaknaan ulang terhadap kata-kata kunci dalam agama yang implikasinya akan berkaitan dengan isu lingkungan misalkan saja khilafah dan amanah. Tugas manusia sebagai wakil Tuhan tidak untuk mengeksploitasi alam tetapi untuk memeliharanya, karena itu menurut Pipip konsep amanah untuk menjaga alam ini kerap dilupakan dan tidak dikaitkan dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Alam yang manusia tinggali ibarat sebuah rumah yang dihuni oleh seseorang. Tidak mungkin rumah itu akan ia rusak apalagi dihancurkan karena jika bocor saja maka penghuni rumah akan basah. Menurut Pipip, pembangunan selama ini mengedepankan prinsip ekonomi dan melupakan lingkungan. 

Catatan penting jika lainnya yang menjadi penyebab mengapa umat beragama ikut menjadi pelaku perusakan lingkungan disebabkan karena banyak juru bicara agama yang tidak memahami isu-isu lingkungan. 

Padahal menurutnya jika para juru bicara agama memiliki pengetahuan terkait dengan isu-isu lingkungan maka di saat ia diminta memberikan pertimbangan mengenai permasalahan lingkungan maka pemuka agama dapat memberikan pandangannya dengan prespektif pendekatan agama. Maka penting bagi para pemuka agama untuk memahami isu-isu lingkungan.

Romo juga mengingatkan perlunya konsistensi dari orang-orang yang menyuarakan isu lingkungan termasuk para pemuka agama dan lembaga yang ikut membahas isu lingkungan agar dapat memberikan suri tauladan dan contoh dalam kesehariannya.

Misalkan saja yang Romo lakukan menolak diberikan minuman kemasan dan lebih memilih meminum teh menggunakan gelas menurutnya adalah wujud dari konsekuensi dan komitmen yang harus dijaga. Lembaga-lembaga atau yang menyelenggarakan event isu lingkungan juga sepatutnya mengemas acara dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai. Perlu juga menyediakan misalnya dispenser bagi peserta yang ingin mengisi ulang airnya di tumbler milik mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun