Selama sebulan terakhir, FPI selalu tampil sebagai subjek pemberitaan di media massa sejak kepulangan HRS ke Indonesia pada 10 November 2020 lalu.
Seperti tidak ada hari tanpa FPI. Mereka selalu menghadirkan peristiwa yang layak ditayangkan sebagai berita, mulai dari penetapan tersangka HRS atas penghasutan di kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat, berlanjut pada kasus penembakan 6 anggota FPI, kasus dugaan kepemilikan senjata api, dan sebagainya. Â
Semua kasus dalam jalan proses hukum. Tapi, kebisingan untuk mengomentari FPI melambung terus di media sosial.
Saya pikir episode soal FPI akan berakhir di pekan ini. Ternyata tidak, masih berlanjut dengan babak baru. Malah kali ini, alurnya makin kompleks karena yang terlibat adalah Jerman.Â
Semua ini berawal dari berita tentang kunjungan staf Kedutaan Besar Jerman ke Sekretariat DPP FPI, Petamburan pada Kamis 17 Desember 2020.
Sekretartis umum FPI Munarman mengklaim kunjungan staf Kedubes Jerman untuk menyampaikan ungkapan belasungkawa atas kejadian kematian enam anggota FPI.
Itu pangkal kejadiannya. Masalah menjadi kian ramai ketika tersebar foto yang memperlihatkan sosok wanita berambut pirang masuk ke markas DPP FPI bersama foto lainnya yang memperlihatkan sedan hitam berplat putih terparkir di dekatnya yang diafiliasikan sebagai kendaraan Kedubes Jerman.
Sejumlah warganet yang berseberangan dengan HRS curiga, apa tujuan staf Kedubes Jerman mampir ke sana? Mereka tidak mempercayai klaim Munarman. Kedubes Jerman sampai saat ini belum memberikan keterangan resmi.
Maka, warganet pun mulai berpikir liar, menghubungkannya dengan larangan ekspor bijih nikel Indonesia ke Eropa pada 2020. Uni Eropa memang gerah terhadap larangan ekspor bijih nikel Indonesia karena dapat mengganggu produktivitas industri baja di sana.
Saya kurang paham mengapa warganet menarasikannya untuk menyerang Jerman, walau dia tergabung sebagai anggota UE, saya memandangnya narasi soal larangan ekspor bijih nikel ini muncul sebagai kebetulan semata.Â