Mohon tunggu...
EFRAIM KRISTINA SIRINGORINGO
EFRAIM KRISTINA SIRINGORINGO Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Efraim Kristina Siringoringo,Saya Mahasiswi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan.Hobby Saya Menyanyi, Membaca, Memasak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Hari Ini, Bekal atau Beban untuk Masa Depan?

20 Juli 2025   19:48 Diperbarui: 20 Juli 2025   19:51 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan seharusnya menjadi pintu gerbang menuju masa depan yang lebih baik. Sekolah, sebagai institusi utama dalam pendidikan formal, diharapkan mampu membekali generasi muda dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kehidupan. Namun, di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, muncul pertanyaan yang cukup menggugah: Apakah sekolah hari ini benar-benar menjadi bekal atau justru beban bagi masa depan peserta didik?

Secara ideal, sekolah adalah tempat di mana anak-anak belajar tidak hanya untuk mendapatkan nilai, tetapi juga untuk memahami kehidupan, membangun karakter, dan mengasah potensi unik yang dimilikinya. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari harapan tersebut. Banyak siswa mengeluh karena beban akademik yang begitu berat, tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi, serta sistem pembelajaran yang masih berpusat pada guru (teacher centered), bukan pada siswa.

Masih banyak sekolah yang menilai keberhasilan hanya berdasarkan aspek kognitif, terutama melalui nilai ujian. Hal ini menciptakan lingkungan belajar yang menegangkan dan tidak jarang menumbuhkan stres pada siswa. Padahal, setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda. Ada yang unggul dalam logika matematika, ada yang hebat dalam seni, ada yang memiliki keterampilan sosial tinggi. Namun sistem sekolah sering kali hanya menghargai satu jenis kecerdasan, dan mengabaikan yang lain.

Kondisi ini membuat sebagian siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan, melainkan ruang perlombaan yang terus-menerus. Mereka tidak belajar karena ingin tahu, tetapi karena takut gagal. Motivasi belajar menjadi eksternal---berbasis nilai dan peringkat---bukan karena rasa ingin tahu atau semangat pengembangan diri.

Di sisi lain, sekolah sering kali belum responsif terhadap tantangan zaman. Dunia terus berubah, teknologi berkembang pesat, dan kebutuhan keterampilan abad 21 semakin kompleks. Namun banyak sekolah yang masih mengandalkan metode konvensional: ceramah panjang, hafalan, dan buku teks. Padahal dunia kerja saat ini menuntut soft skills seperti kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi efektif, berkolaborasi, dan berinovasi---kemampuan yang justru sering luput dari sistem pendidikan kita.

Belum lagi tantangan sosial yang semakin kompleks. Banyak remaja saat ini dihadapkan pada tekanan mental dari media sosial, krisis identitas, dan minimnya nilai-nilai moral dalam lingkungan sekitar. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang mampu membekali siswa dengan ketahanan mental dan nilai-nilai karakter, namun banyak institusi pendidikan belum maksimal dalam hal ini. Pendidikan karakter sering kali hanya menjadi slogan, tanpa diiringi tindakan nyata dan konsisten dalam keseharian proses belajar-mengajar.
Namun demikian, bukan berarti semua sekolah gagal. Banyak juga sekolah yang mulai melakukan inovasi. Pembelajaran berbasis proyek, kurikulum merdeka, pemanfaatan teknologi, serta pendekatan yang memanusiakan siswa mulai diterapkan. Guru-guru muda yang kreatif dan terbuka pada perubahan mulai bermunculan. Namun, tantangannya adalah bagaimana inovasi ini bisa menjadi arus utama, bukan hanya praktik segelintir sekolah.

Solusinya bukan dengan menghapus sekolah, melainkan mendesak transformasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan kita. Sekolah harus menjadi ruang aman untuk bertumbuh, tempat di mana anak bisa mengenal dirinya, mengasah potensinya, dan siap menghadapi masa depan dengan optimisme. Kurikulum harus fleksibel dan kontekstual, guru perlu diberi pelatihan yang relevan, dan sistem evaluasi harus lebih menghargai proses, bukan sekadar hasil.

Masa depan bangsa sangat bergantung pada generasi mudanya. Dan kualitas generasi muda sangat ditentukan oleh bagaimana mereka dididik hari ini. Jika sekolah tetap menjadi ruang yang menekan, bukan membimbing; yang menjejalkan, bukan membebaskan; maka sekolah bukanlah bekal, melainkan beban.

Namun jika kita berani berbenah menghadirkan pendidikan yang relevan, humanis, dan transformatif maka sekolah akan kembali menjalankan fungsinya sebagai bekal terbaik untuk masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun