Sektor pendidikan di Indonesia masih menghadapi masalah klasik yang merusak fondasi moral bangsa --- korupsi. Padahal, bidang ini seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan sumber daya manusia. Alokasi anggaran yang besar justru kerap menjadi sasaran penyimpangan akibat lemahnya pengawasan, kolusi antarpejabat, serta tata kelola yang tidak transparan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari prinsip integritas dan tanggung jawab publik yang seharusnya dijunjung tinggi.
Triwibowo (2023) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan negara yang tidak efisien menjadi pemicu utama maraknya praktik korupsi. Ketika transparansi dan mekanisme kontrol tidak berjalan optimal, dana bantuan, proyek pembangunan sekolah, dan program kesejahteraan pendidikan menjadi mudah disalahgunakan. Winardi (2024) menambahkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga; ia bukan sekadar pelanggaran individu, tetapi bagian dari sistem birokrasi yang lemah dan tidak akuntabel.
Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya menggerogoti uang negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Akibatnya, cita-cita menciptakan pendidikan yang berkualitas dan merata semakin jauh dari kenyataan. Reformasi mendasar dalam pengelolaan keuangan publik dan sistem audit pendidikan menjadi langkah mendesak agar dana rakyat kembali kepada tujuan awalnya: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Runtuhnya Akuntabilitas dalam Sistem Pendidikan
Kasus penyalahgunaan anggaran di Kementerian Pendidikan memperlihatkan bahwa pengawasan internal pemerintah masih lemah. Dalam kerangka teori agensi, rakyat memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengelola dana publik, tetapi agen tersebut sering kali gagal mempertanggungjawabkan amanahnya. Menurut Maria dan Halim (2023), akar persoalannya terletak pada lemahnya sistem tata kelola publik yang belum menegakkan prinsip keterbukaan dan pengawasan menyeluruh.
Program-program pendidikan yang seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan siswa dan tenaga pendidik justru sering tidak diawasi secara transparan. Seperti dikatakan Haryanto (2023), penerapan new public management di Indonesia hanya sebatas formalitas tanpa realisasi dalam praktik birokrasi. Akibatnya, dana publik yang besar tidak menghasilkan dampak signifikan terhadap mutu pendidikan. Alih-alih menjadi investasi masa depan, anggaran itu justru terperangkap dalam praktik penyimpangan struktural.
Korupsi: Jaringan, Bukan Individu
Fenomena korupsi di bidang pendidikan tidak bisa dipisahkan dari karakter birokrasi Indonesia yang kaku, tertutup, dan berorientasi pada kepentingan pribadi. Berdasarkan teori public choice, pejabat publik kerap menempatkan keuntungan pribadi di atas kepentingan masyarakat. Wardoyo dan Jatmiko (2024) menemukan bahwa lemahnya sistem pertanggungjawaban fiskal serta desentralisasi yang tidak efektif menjadi penyebab meningkatnya praktik korupsi di daerah.
Lebih parah lagi, hasil penelitian Hidayaturrahman et al. (2025) menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia umumnya bersifat kolektif, dilakukan secara sistematis oleh kelompok dalam jaringan kekuasaan tertentu. Hal ini juga terjadi di sektor pendidikan, di mana proyek dan pengadaan sering kali dikuasai oleh segelintir aktor yang saling melindungi. Karena itu, keterlibatan seorang menteri dalam skandal korupsi bukanlah penyimpangan tunggal, melainkan bukti nyata bahwa birokrasi pendidikan telah lama dikuasai oleh sistem yang korup secara struktural.
Kasus di kementerian menunjukkan bagaimana celah kebijakan dan lemahnya akuntabilitas membuat penyalahgunaan dana menjadi hal yang berulang. Maria dan Halim (2023) menegaskan bahwa sistem pertanggungjawaban publik di Indonesia masih rapuh, sedangkan Winardi (2024) menyebutkan bahwa praktik korupsi telah menjadi bagian dari "mekanisme institusional" dalam pemerintahan. Maka, reformasi keuangan negara dan peningkatan transparansi anggaran menjadi agenda mendesak untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi pendidikan.
Penutup