"So, kamu belum dapat pengganti Takeshi?"
"Hei, kamu pikir gampang apa mendapat orang yang benar-benar dapat dicintai setulus hati?! Kalau sekadar just for fun sih banyak. Tinggal comot satu fans cowok saja, beres deh persoalan."
"Iya, sih. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Kamu tidak menutup hati rapat-rapat, kan? Maksudku...."
"Kecewa dengan yang namanya cinta?"
Saya mengangguk.
"Tentu saja tidak. Memangnya kenapa?"
"Biasanya gadis yang sakit hati gara-gara cowok akan menyimpan trauma sampai seumur hidupnya."
"Hei, memangnya aku picik begitu? Kalau aku begitu, yang namanya Ronny Panggabean pasti tidak bakal berada di seberang meja ini. Berhadapan dengan saya, duduk makan semeja di Borders!"
Saya terbahak. Tiba-tiba merasa memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalin benang merah lebih dari sekadar persahabatan. Saya memang mesti bersikap jujur dengan suara hati saya sendiri. Saya tidak ingin kehilangan momen yang datangnya mungkin sekali dalam seumur hidup ini. Saya tidak ingin melewatkan dan menyia-nyiakan waktu seperti dulu lagi. Sepertinya saya sudah lebih siap, mantap untuk memaparkan isi hati yang belum terungkap sekian tahun.
Malam menangkup di Orchard Road. Rasanya waktu berlalu secepat meteor. Saya ingin terus bersamanya. Membantu menyaput hari-harinya yang kelabu.