"Kamu cuma mempermainkan dia. Iya, kan?!" Mata Ersa membola. Kalimatnya penuh selidik.
Aldo tersenyum, lalu tertawa hambar. Refleks diangkatnya kepala dari topangan lututnya. Kemudian dia berkata setenang mungkin setelah menyurutkan tawanya.
"Satu tahun jalan bareng dia, satu tahun itu pula saya berusaha untuk memahami sifatnya, dan dari satu tahun itu pula saya terus mencoba berkepala dingin di dalam setiap pertengkaran. Tapi," sudut kanan bibirnya terangkat, "hah, hasilnya nol besar!" urainya, lalu diangkatnya jari telunjuk dan jempolnya yang membentuk bulatan. "Sekarang, apa yang mesti dipertahankan lagi?"
"Tapi...."
"Kadang saya tidak memahami kadar cemburunya yang di luar batas kewajaran itu, Sa," Aldo memintas. "Terus terang, saya takut hal tersebut terus berlanjut sampai, misalnya, suatu saat kelak kami bersatu dalam rumah tangga."
"Kamu...."
"Sesungguhnya saya ini pengecut, Sa. Saya orangnya tidak tahan banting. Saya pikir, mungkin saya ini masih kekanak-kanakan."
Ersa bungkam. Di satu pihak dia tidak ingin menghancurkan impian Suci. Tapi di pihak lain, jauh di lubuk hatinya, jujur, dia sangat mencintai Aldo.
***
3 Maret 1999
Lembar Babak Putih