Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sikap Represif terhadap Dunia Akademis

2 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 2 Juni 2020   21:20 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 By : Effendi Muhayar (Analis Kebijakan Setjen DPR RI)

Beberapa hari lalu, Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) gagal  mengadakan silaturahmi, seminar  dan diskusi virtual yang membahas tentang   Wacana Pemecatan  Presiden di Tengah Pandemi Covid-19. Rencana seminar tersebut dituding sebagai rencana makar dan akhirnya acarapun dibatalkan  demi keamanan  para nara sumber. 

Dengan kejadian ini tentunya kita merasa sedih, karena seharusnya  setelah lahirnya era reformasi  yang menumbangkan rezim otoriter  tentunya kita  berharap tidak ada lagi  rasa takut oleh masyarakat untuk menyampaikan pendapat  dan membahas isu-isu tertentu  meski itu berkaitan dengan pemberhentian (pemakzulan/impeachman) presiden.

Karena isu tentang pemberhentian  presiden  adalah isu konstitusional yang  diatur  dalam Pasal 7A UUD 45, yang berbunyi : "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan  dalam masa jabatannya oleh MPR atas  usul DPR,  apabila terbukti telah melakukan  pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela  maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil  Presiden".

Berdasarkan pasal ini, maka paling tidak ada 3 (tiga) katagori seorang presiden dapat diberhentikan, diantaranya : Pertama melakukan  pelanggaran hukum berat berupa penghianatan terhadap Negara   korupsi, penyuapan dan melakukan perbuatan berat lainnya. 

Kedua, melakukan perbuatan pidana atau perbuatan tercela. Perbuatan tercela ini misalnya terkait dengan pelanggaran terhadap norma kesusilaaan, norma adat, dan norma agama, seperti melakukan  judi, mabuk,  zina. 

Dan Ketiga, tidak lagi memenuhi syarat. Karena sebagaimana kita ketahui, bahwa syarat untuk menjadi presiden ada  3 (tiga, diantaranya : pertama, warganegara Indonesia  dan tidak pernah menjadi warga negara asing atau atas kehendaknya sendiri. Kedua, tidak pernah melakukan penghianatan terhadap negara, dan ketiga mampu secara jasmani dan rohani untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Melihat pada fakta ini, maka  sebenarnya tema pemberhentian presiden dan wakil presiden adalah tema konstitusional, dan mahasiswa hukum dan yang belajar hukum wajib  mengetahui soal mengenai dalam hal apa presiden dapat dijatuhkan. Jadi kalau kita belajar tentang konteks saat ini dengan ilmu pengetahuan,  maka kadang-kadang kita bisa menghubungkan. 

Misalnya, apakah cukup  alasan soal pandemik covid-19 kemudian presiden bisa dijatuhkan..?. Jadi diskusi yang akan dilakukan oleh mahasiswa UGM  adalah merupakan sarana untuk mengasah kemampuan berfikir sebagai warga negara dan khususnya untuk mengasah  kemampan akademik para mahasiswa di semua perguruan tinggi khususnya mahasiwa yang belajar hukum.  

Jadi intinya adalah, apakah cukup alasan untuk memberhentikan presiden ditengah isu pandemik covic-19  dan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap penanganan covid 19 ?

Sebenarnya, jika kita lihat dari kacamata ilmu pengetahuan, maka dari apa yang direncanakan  mahasiswa adalah masih dalam koridor akademik, dan  kalau dikira sebagai  gerakan  makar, nampaknya sangat keterlaluan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun