Oke baik. Perkenalkan nama saya Billy Musa. Saya seorang mahasiswa untuk saat ini. Saya memegang titel mahasiswa dengan berat hati, dimana setiap rasa bosan dan pertanyaan-pertanyaan soal masa depan menghantui kepala saya.
Maka, melihat kepada diri saya yang sudah menyandang titel mahasiswa ini, saya dengan mudah dapat berkata kepada adik-adik kelas saya bahwasanya kuliah itu ya seperti ini, membosankan, tapi kalau kuat ya silahkan. Sayapun tidak dapat melarang.
Mungkin judul diatas terkesan berat, apa benar begitu? Pertanyaan semacam itu menjadi sebuah refleksi kehidupan atau menjadi cerminan dalam diri kita masing-masing. Satu-satu dari kita memiliki cara pandang terhadap kehidupan yang berputar diatas dunia dengan prespektif yang berbeda.
Sudut pandang seorang tukang sapu tidak sama dengan sudut pandang seorang mahasiswa kaya yang setiap hari berjibaku dengan tugas sembari kongkow di kafe. Ada ribuan sudut pandang dalam memahami pertanyaan 'sudahkah anda menjadi manusia?'
Saya mengajak kamu bersama-sama merenung tentang arti dan hakikat kelahiran manusia. Pada awalnya, manusia dilahirkan bukan sebagai manusia, tapi hanya sebagai media yang bernyawa dan hidup. Manusia dilahirkan sebagai wadah kosong yang siap diisi segala macam tetek-bengek soal dunia.
Lantas kamu, saya, mereka dan kita semua tumbuh, semakin tumbuh, untuk kemudian dewasa. Sebagian dari kita banyak yang salah kaprah lalu dengan sombong berkata bahwa dirinya sudah jadi manusia, atau, berkata bahwa sudah jadi manusia sejak lahir.
Saya mengajak kamu menemukan apa jawabannya. Saya bukan Dewa atau Tuhan, saya masih setengah manusia yang belum tahu banyak, begitu juga kamu. Maka, apakah kita sudah jadi manusia? Saya berpikir dan menolak dengan tegas apabila saya menjawab sudah.
Manusia adalah sebuah sosok yang terlahir untuk menerima sesuatu dan memberikan sesuatu, to take and giving something. Apa itu? Sudahkah kita menerima? Apa yang kita terima? Setiap dari kita menerima sesuatu yang berbeda-beda, saya tekankan lagi, 'berbeda'.
Saya beri contoh satu, di gedung tempat biasa saya berkuliah ada ibu penjual makanan ringan, apa yang dia terima sebagai manusia? Jelas, kehidupan.
Lalu ada teman saya, seorang yang berpunya, apa yang dia terima? Juga kehidupan. Saya sepakat bahwa memang kita telah menerima titah dari Tuhan untuk sebuah kehidupan tidak peduli siapa saya, siapa kamu. Tapi, sudahkah kita memberi.
Pertanyaan selanjutnya, sudahkah kita memberi? Saya sudah sampaikan apa itu sosok manusia pada hakikatnya. Maka pertanyaan 'menjadi manusia dan sudahkah memberi' menjadi pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab. Relasi antara keduanya bersangkut paut dan padu menjadi satu.