Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Timor-Timur Bergabung dengan Indonesia? Kisah APODETI, RPAKD dan Saga Keluarga Borromeu

16 September 2025   11:19 Diperbarui: 16 September 2025   11:19 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Diktator r Antnio de Oliveira Salazar. Kredit: Alamy/ Cordon Press)

Saya menulis ini dengan beban sejarah di ujung jemari saya, dengan gema takdir yang berdetak nyaring di dalam dada. Satu kaki saya berpijak di atas mimbar akademis yang sejuk, sebagai seorang ilmuwan politik yang terlatih untuk membedah anatomi kekuasaan dengan pisau analisis yang presisi dan dingin. Namun, kaki saya yang lain terbenam begitu dalam di tanah pusaka keluarga, sebuah tanah yang basah oleh luka, kontroversi, dan ingatan yang menolak untuk mati, karena saya adalah cucu dari Alexandrino Borromeu.

Nama itu, bagi sebagian besar dunia yang membacanya, mungkin hanyalah sebuah catatan kaki dalam bab sejarah Timor yang paling bergejolak, sebuah nama yang berkelebat di antara nama-nama lain, disebut sebagai pendiri APODETI, dikenang sebagai pembaca Deklarasi Balibo, dan dilabeli sebagai simbol tokoh pejuang integrasi. Tetapi bagi saya, nama itu adalah darah yang mengalir di pembuluh nadi saya, nama seorang kakek yang warisannya bukan sekadar cerita sebelum tidur atau foto yang menguning, melainkan sebuah manuskrip tebal yang kini tergeletak di hadapan saya, sebuah pengakuan, sebuah manifesto, dan sebuah pembelaan diri yang ditulisnya untuk pengadilan zaman yang paling agung, yaitu sejarah itu sendiri.

Di dalam setiap lembar dokumen yang rapuh itu, saya seperti mendengar suaranya kembali, seakan ia sedang duduk di seberang meja, menatap saya dengan mata yang telah menyaksikan runtuhnya sebuah imperium, dan dengan sabar menjelaskan mengapa pilihan untuk berintegrasi dengan Indonesia, bagi generasinya, bukanlah sebuah tindakan pengkhianatan. Itu, katanya, adalah satu-satunya bidak catur yang bisa dimainkan untuk bertahan hidup di tengah badai ganas Perang Dingin yang mengancam menelan semua yang kecil dan lemah. Dari kejauhan, ia telah membaca gempa politik yang akan meruntuhkan Lisbon, ia telah mencium aroma mesiu dari ideologi Marxisme yang diusung Fretilin, dan ia memahami betul paranoia Orde Baru yang lahir dari trauma pemberantasan komunisme pasca Gestapu 1965. Timor, Alexandrino beralasan, terlalu kecil dan rapuh untuk menjadi Kuba baru di gerbang selatan Asia, maka integrasi adalah sebuah pilihan pragmatis, sebuah jalan berliku demi sebuah kelangsungan hidup.

Meski demikian, dalam perjalanan sunyi itu ia tidak pernah benar-benar berjalan sendirian, karena di sisinya berdiri kokoh pilar-pilar kekuatannya. Ada Antnio Nazrio de Ftima Carvalho, paman saya, Sang Perisai Keluarga, seorang lelaki berlatar belakang semi-komando yang otot dan nyalinya ditempa untuk menghadapi bahaya, lelaki yang sama yang dengan keberanian luar biasa mengibarkan bendera Merah Putih seorang diri di Balide ketika orang lain gemetar ketakutan, yang menjadi benteng hidup dan perisai tak terlihat bagi siaran radio perjuangan agar suara integrasi tak pernah padam ditelan malam. Lalu ada Carlos Filomeno Borromeu Duarte, ayah saya, Sang Penyala Api Keluarga, seorang aktivis pemuda yang semangatnya berkobar-kobar, yang tangannya dengan terampil melukis logo pertama APODETI, sebuah simbol perlawanan dan harapan, dan yang keberaniannya mendorongnya melakukan tindakan nekat mencuri peta-peta vital kota Dili dari almamaternya, lalu dengan sabar menyembunyikannya di dalam lipatan tikar pandan yang telah dijahit ulang dengan sangat hati-hati, sebuah tikar usang yang akhirnya menjadi kanvas bisu di mana takdir sebuah bangsa dilukiskan dalam sebuah perjalanan berbahaya menyeberangi laut gelap menuju Atambua.

Itulah sebabnya cerita ini selalu terasa begitu personal, begitu menusuk ke dalam kalbu, karena manuskrip itu, catatan perjalanan kakek saya yang penuh risiko, akhirnya jatuh ke tangan ayah saya, Carlos, lalu dengan sebuah amanat suci diwariskan kepada saya. Ayah saya tahu, saya akan membacanya bukan hanya dengan lensa seorang akademisi yang mencari fakta, tetapi juga dengan hati seorang cucu yang mencari pemahaman. Ia ingin saya menuliskan ulang kisah ini, bukan untuk menghakimi masa lalu, bukan pula untuk membenarkan segala tindakan, tetapi untuk memahami secara utuh, dan untuk mengajak orang lain juga ikut memahami. Maka saya menulis ini dengan satu tujuan mulia, bukan untuk mengubah pandangan siapa pun yang telah beku, tetapi untuk mengajak dunia berhenti sejenak, melepaskan kacamata hitam-putihnya, dan mencoba melihat dengan mata batin yang jujur, bahwa di balik sebuah tikar pandan sederhana yang usang, ada sebuah keluarga, ada pertaruhan darah, ada keyakinan yang mengakar kuat, dan ada sebuah sumpah yang tak bisa dihapus begitu saja oleh arus kuasa dan putaran zaman.

BABAK I, SAAT EROPA SAKIT, TIMOR PUN DEMAM

Mari kita bayangkan sejenak malam itu, tanggal 7 Agustus 1975, saat angin laut yang asin dan dingin berhembus kencang di atas geladak sebuah barcaa, sebutan lokal untuk feri kecil yang reyot, yang berlayar membelah kegelapan dari Dili menuju Batugade. Kapal itu dinahkodai oleh Fernando Boavida, seorang kawan seperjuangan, seorang simpatisan APODETI yang setia. Di tengah keremangan malam, sebuah keluarga duduk berdekatan dalam diam yang begitu menegangkan, setiap debur ombak terdengar seperti detak jantung mereka sendiri. Di pangkuan seorang ibu, seorang bayi tertidur lelap, kepalanya yang mungil bersandar pada bantal dan guling yang tampak biasa saja, sebuah pemandangan keluarga yang polos. Di dekat mereka, terhampar sebuah tikar tidur yang terlihat usang, digulung rapi seolah tanpa makna. Padahal, di sanalah nasib sebuah operasi militer tersimpan. Di dalam serat-serat bantal sang balita dan di antara bilah-bilah tikar yang telah dibelah lalu dijahit kembali dengan ketelitian seorang ahli bedah, tersembunyi peta-peta rahasia kota Dili, analisis intelijen yang sangat detail, serta telaah dan rencana strategis militer yang akan menentukan masa depan. Sebuah siasat sederhana yang lahir dari keadaan yang sangat terdesak, yang kelak akan memicu akibat yang bergema puluhan tahun kemudian.

Bagaimana sebuah keluarga bisa sampai pada titik mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa seorang bayi tak berdosa, di atas geladak feri tua di tengah lautan? Kisah mereka tidak dimulai di Dili yang panas, melainkan ribuan kilometer jauhnya, di Lisbon, ibu kota Portugal yang sedang menggigil.

Selama puluhan tahun, Portugal adalah sebuah imperium kolonial tua yang diperintah oleh rezim diktator sipil Estado Novo yang kokoh di bawah Antnio de Oliveira Salazar. Untuk menjaga kekuasaannya yang membentang dari ujung Eropa di Minho hingga ujung Asia di Timor, rezim ini mengandalkan PIDE, sebuah polisi rahasia yang reputasinya sangat ditakuti, yang mata dan telinganya ada di mana-mana. Alexandrino Borromeu, sebagai salah satu putra Timor yang terdidik, pernah direkrut dan menjadi bagian dari jaringan senyap ini, memberinya pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan yang sesungguhnya bekerja dalam bayang-bayang, melalui intrik dan informasi rahasia.

(Suasana Revolusi Anyelir. Kredit Emma Slattery Williams)
(Suasana Revolusi Anyelir. Kredit Emma Slattery Williams)

Lalu, pada 25 April 1974, segalanya berubah selamanya. Sebuah revolusi tak berdarah yang indah, yang dikenal sebagai Revoluo dos Cravos atau Revolusi Anyelir, meletus di jalanan Lisbon, dipimpin oleh para perwira muda Angkatan Bersenjata (MFA) yang lelah dengan perang kolonial tak berkesudahan di Afrika. Rezim tua yang rapuh itu tumbang dalam semalam, dan sebuah junta militer mengambil alih kekuasaan. PIDE pun dibubarkan, dan fungsinya sebagai badan intelijen negara dialihkan ke dinas intelijen militer, Direo-Geral de Segurana (DGS).

Bagi dunia, itu adalah fajar kemenangan demokrasi. Hanya saja bagi Timor, itu adalah awal dari sebuah ketidakpastian yang menakutkan, sebuah babak baru yang penuh bahaya. Pemerintah pusat yang baru di Lisbon, yang didominasi oleh faksi-faksi kiri, menetapkan kebijakan descolonizao, yang artinya mereka akan melepaskan tanah-tanah koloni dan memberikan ruang bagi penentuan nasib sendiri atau auto-determinao. Pintu sangkar yang telah mengurung Timor selama ratusan tahun tiba-tiba terbuka, namun ternyata di luar hanya ada hutan belantara geopolitik yang buas, tempat para predator ideologi sedang menunggu.

Kekosongan kekuasaan ini terjadi di puncak eskalasi Perang Dingin. Di Dili, Fretilin, sebuah gerakan kemerdekaan yang kental dengan ideologi Marxisme-Leninisme dan mendapat dukungan dari jaringan komunis internasional, dengan cepat menjadi kekuatan politik yang paling dominan dan terorganisir. Bagi Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, yang lahir dari trauma mendalam pemberantasan komunisme tahun 1965, kemunculan Fretilin adalah alarm bahaya tertinggi. Sebuah "Kuba baru" yang lahir di depan pintu rumah adalah sebuah ancaman eksistensial yang tidak bisa ditolerir, sebuah skenario yang harus dicegah dengan cara apa pun, dan arsitek kebijakan luar negeri Indonesia seperti Jenderal Ali Moertopo dan lembaga CSIS-nya mulai bekerja dalam senyap.

Di sinilah takdir global yang besar menyentuh pundak seorang individu. Di Dili, seorang perwira muda Portugis bernama Tenente Toms Amrico, yang kebetulan adalah keponakan dari Presiden Portugal yang baru saja digulingkan, Almirante Amrico Toms, memanggil Alexandrino Borromeu ke messe dos oficiais di Taibessi. Pesan Tenente Amrico sangat jelas dan strategis, yaitu membentuk sebuah partai politik non-marxis sebagai penyeimbang kekuatan Fretilin. Ia menjelaskan dengan gamblang bahwa secara geopolitik, sebuah negara kecil yang terjepit di antara raksasa seperti Indonesia dan Australia tidak akan bisa bertahan jika nekat mengibarkan panji merah komunisme.

Alexandrino, dengan pemahamannya yang mendalam akan cara kerja kekuasaan dan jaringan intelijen, menjawab panggilan takdir itu. Awalnya ia membentuk AITI (Associao para Integrao de Timor Indonsia), sebuah nama yang sangat jujur dan terus terang. Sebaliknya, Tenente Amrico menasihatinya bahwa nama itu "tidak elok secara psikologi-politik" dan terlalu provokatif. Benar saja, saat mencoba mendaftar, DGS menolak mentah-mentah nama AITI. Maka, dalam sebuah rapat bersejarah di rumah Jos Osorio Soares di Bidau, nama itu diubah menjadi APODETI (Associao Popular Democrtica Timorense), dengan manifesto politik yang tetap sama, yaitu bergabung dengan Indonesia demi keselamatan dan kemakmuran. Pada 27 Juli 1974, APODETI resmi terdaftar, dan mesin perjuangan keluarga Borromeu pun mulai berputar dengan kecepatan penuh, memasuki babak yang paling menentukan.

BABAK II, MESIN PERJUANGAN SEBUAH KELUARGA

Perjuangan ini sejak detik pertama adalah sebuah urusan keluarga, sebuah pertaruhan kolektif yang mengikat mereka dalam sumpah darah. Alexandrino adalah sang arsitek, sang grandmaster catur yang melihat beberapa langkah ke depan. Ia tidak hanya menjadi salah satu pendiri, tetapi juga motor penggerak utama di balik layar, yang dengan sabar merajut jaringan, menyusun strategi, dan mengarahkan narasi perjuangan. Menariknya, ia tidak bekerja sendiri di menara gading. Ia memiliki dua pilar utama yang menjadi perpanjangan tangan, pikiran, dan keberaniannya, yaitu kedua putranya yang memiliki karakter yang saling melengkapi.

Antnio Nazrio de Ftima Carvalho, sang putra sulung, adalah otot dan perisai dari gerakan ini, perwujudan dari kekuatan fisik dan keberanian. Dengan latar belakang militer, pelatihan semi-komando, dan ilmu bela diri yang ia dapatkan dari seorang guru legendaris bernama Cabo Martinho, ia menjadi sosok yang sangat diandalkan di lapangan yang keras. Sejak tahun 1974, ia sudah tak kenal lelah melatih para pemuda APODETI di sudut-sudut tersembunyi kota Dili dalam berbagai keahlian, mulai dari bela diri tangan kosong, taktik perang kota, hingga teknik-teknik militer sederhana yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Ia adalah pengawal pribadi yang paling setia bagi para elite partai, memastikan keselamatan mereka di tengah situasi yang semakin berbahaya dan penuh ancaman pembunuhan. Setiap Kamis malam, saat para penyiar APODETI seperti Jos Bonifcio dos Reis Arajo dan kawan-kawan mengudarakan siaran radio perjuangan "Mai Fali E... Fila Fali E" di Radiofuso da Emissora de Timor Portugus, Antnio-lah yang berdiri dalam bayang-bayang, menjadi jaminan tak terlihat agar suara perjuangan mereka tidak dibungkam selamanya oleh lawan-lawan politik mereka.

Sementara itu, Carlos Filomeno Borromeu Duarte, sang adik, adalah api yang menyalakan semangat di kalangan pemuda, sang ideolog yang menggerakkan hati. Sebagai seorang aktivis yang karismatik, ia menggerakkan Aliansi Para Pelajar APODETI bersama kawan-kawan seperjuangannya seperti Domingos Osrio Soares, Domingos Policarpo Dos Reis Arajo, dan Marcos Varela. Di masa genting di mana sebuah simbol bisa bicara lebih keras dari ribuan pidato, Carlos-lah yang menjadi pelopor dan pelukis logo pertama APODETI, sebuah lambang yang akan menjadi identitas gerakan mereka. Logo itu ia buat atas permintaan khusus dari Sargento Ablio Caldas, seorang sersan yang dihormati, yang kelak menjadi martir perjuangan, dibunuh secara keji oleh Fretelin karena afiliasinya yang teguh dengan APODETI. Api dan perisai, pemikir dan pelaksana, kedua putra itu menjadi mesin ganda yang menggerakkan perjuangan keluarga Borromeu.

BABAK III, PERANG DALAM BISIK-BISIK


Perang sesungguhnya yang mereka lancarkan tidak terjadi di medan terbuka dengan letusan senjata, tetapi di lorong-lorong gelap kota Dili dan dalam bisik-bisik di tengah malam buta. Jantung dari seluruh operasi intelijen mereka adalah seorang pria kunci, seorang kerabat yang posisinya sangat vital, Cabo Martinho da Silva. Secara kebetulan yang luar biasa, yang terasa seperti sentuhan tangan takdir, ia adalah kerabat keluarga Borromeu yang ditempatkan di jantung intelijen Portugis, Primeira Repartio do Quartel-Geral (DGS), karena kefasihannya yang langka dalam berbahasa Melayu-Indonesia. Dari posisinya yang sangat strategis itu, Cabo Martinho, yang juga bersimpati pada perjuangan APODETI, menjadi sumber informasi tak ternilai, sebuah mata dan telinga di dalam benteng musuh. Ringkasan-ringkasan laporan dan analisis intelijen rahasia, yang seharusnya hanya untuk mata para petinggi militer Portugis, mengalir secara diam-diam darinya ke tangan Alexandrino, memberinya keunggulan informasi yang krusial.

Informasi berharga ini kemudian diolah dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang penuh risiko. Pertemuan itu selalu diadakan pada larut malam dan berpindah-pindah tempat untuk menghindari deteksi mata-mata Fretilin maupun DGS, mulai dari rumah Alexandrino sendiri di Becora, hingga di dasar mota laran (sungai kering) di Taibessi dan Cameia, di mana kepala sukunya adalah pendukung setia APODETI sehingga memudahkan pertemuan rahasia di wilayahnya. Di sanalah, diterangi cahaya bulan yang redup, dengan debar jantung yang terasa hingga ke tenggorokan, Alexandrino dan kedua putranya berdiskusi dan menyerahkan data-data matang itu kepada staf Konsulat Indonesia yang menyamar, yaitu Anton Teti, Frans Nobas, dan Jos Morato Nheu, semua di bawah pengawasan langsung Konsul Indonesia saat itu, Tomodok. Mereka adalah pionir dari sebuah kerja sama intelijen yang kelak akan mengubah peta politik kawasan itu.

BABAK IV, MISI PALING MUSTAHIL

Pada tanggal 1 Juni 1975, sebuah aksi nekat dilakukan yang menjadi titik tanpa kembali, sebuah deklarasi perang simbolis. Antnio mengibarkan bendera Merah-Putih seorang diri di siang hari bolong di markas APODETI di Balide, yang berlokasi di rumah Hermenegildo Martins, Wakil Presiden partai. Untuk pertama kalinya, bendera itu berkibar menantang di luar yurisdiksi Konsulat Indonesia, sebuah proklamasi visual yang mengirimkan getaran ke seluruh kota, memancing kemarahan Fretilin dan kebingungan pemerintah Portugis.

Di saat yang sama, data intelijen dari Cabo Martinho semakin mengkhawatirkan. Carlos berhasil mengumpulkan informasi pelengkap bahwa Capito Chungue, seorang perwira komando Portugis, secara aktif melatih para pemuda keturunan Tionghoa dan simpatisan Fretelin dalam taktik militer komando. Analisis dari Cabo Martinho pun menyimpulkan hal yang sama, akan ada sebuah gerakan bersenjata besar-besaran yang dilancarkan Fretilin pada bulan Agustus.

Momen krisis ini memaksa sebuah keputusan radikal. Pada 1 Agustus 1975, sebuah surat perintah atau Documento de Mandato dikeluarkan, ditandatangani oleh dua petinggi utama APODETI, Presidente do Partido Arnaldo dos Reis Arajo dan Secretrio-Geral Jos Osrio Soares. Perintahnya jelas dan tidak bisa ditawar, Alexandrino Borromeu, bersama kedua putranya, harus segera mengevakuasi seluruh arsip intelijen mereka ke wilayah Indonesia dengan kamuflase mengunjungi keluarga di Atambua dan merayakan 17 Agustus.

Sumber daya paling berharga saat itu bukanlah peluru, melainkan peta. Carlos melakukan misinya sendiri, sebuah tindakan pencurian patriotik yang berisiko tinggi. Ia mengambil peta-peta detail kota Dili dari pajangan di almamaternya, Liceu Dr. Francisco Machado. Peta-peta itulah, bersama puluhan dokumen analisis lainnya, yang kemudian dengan sangat hati-hati disembunyikan di dalam tikar dan bantal bayi dalam perjalanan laut mereka yang menegangkan pada 7 Agustus 1975.

Setibanya di Batugade, Bendera Merah Putih dikibarkan lagi oleh Antnio seorang diri, sebuah penegasan sikap. Kekacauan akibat kudeta yang dilancarkan oleh UDT beberapa hari kemudian justru menjadi selubung bagi mereka. Tak ada kendaraan, mereka terpaksa berjalan kaki melintasi perbatasan yang tidak terjaga. Saat meminta stempel exit permit di Pos Imigrasi Balib, Alexandrino dan Antnio dengan kepala dingin memetakan medan di wilayah strategis itu, merekam setiap detail dalam benak mereka. Malamnya, di Atambua, di rumah sepupu mereka, Silvester Nai Buti, operasi ini mencapai akhirnya. Agen-agen RPKAD yang diantar oleh Mateus Kui dari KODIM Atambua, datang menjemput "harta karun" dari dalam tikar dan bantal itu. Misi mustahil itu telah tuntas dengan sempurna.


BABAK V, DARI MEJA RAPAT KE GARIS DEPAN

Dengan berhasilnya evakuasi data, peran keluarga Borromeu bertransformasi dari para pelaku politik klandestin menjadi bagian dari dewan strategi militer. Pasca kontra-kudeta oleh Fretilin pada 20 Agustus 1975 dan proklamasi kemerdekaan sepihak pada 28 November 1975, rapat-rapat di Atambua menjadi semakin intensif. Bersama para perwira tinggi RPKAD, Alexandrino memimpin telaah strategis, sementara Antnio, dengan latar belakang militernya, menerjemahkan analisis itu menjadi telstra (telaah strategis) dan renstra (rencana strategis) untuk operasi pengepungan Dili dari darat, laut, dan udara, termasuk menyusun opsi-opsi berani untuk membebaskan para tahanan APODETI yang disekap Fretilin di Dili.

Dari meja rapat, Antnio kemudian bergeser ke garis depan. Ia bergabung langsung dengan pasukan RPKAD di perbatasan Mota'ain bersama komandan legendaris Brigadir Jenderal Dading Kalbuadi, sebelum akhirnya menjadi bagian dari Satgas Intel RPKAD di Dili pasca-invasi. Carlos pun kelak menyusul bergabung dengan satgas yang sama pada periode 1976-1977, melanjutkan perjuangan keluarganya.

Kulminasi dari seluruh perjuangan klandestin ini terjadi di Bali dan Balib. Sehari setelah proklamasi Fretelin, dalam rapat darurat para pemimpin pro-integrasi, termasuk Guilherme Maria Gonalves dari presidium APODETI, terjadi perdebatan yang sangat tajam. Mrio Viegas Carrascalo dari UDT, dengan semangat militernya, menginginkan solusi militer penuh dan segera. Akan tetapi, Alexandrino menolaknya dengan tegas. Ia berargumen dengan visi seorang negarawan bahwa kekuatan militer harus diimbangi dengan legitimasi diplomasi. Ia memberikan syarat mutlak, sebuah deklarasi tandingan harus dibacakan di tanah sengketa, di tanah Timor sendiri, untuk memberikan landasan hukum dan politik bagi intervensi militer.

Syarat itu diterima. Maka, pada 30 November 1975, di kota perbatasan Balib yang kini menjadi pusat perhatian dunia, Alexandrino Borromeu membacakan Deklarasi Integrasi Timor dengan Indonesia, yang kemudian melahirkan Deklarasi Balib yang bersejarah. Jalan bagi militer Indonesia secara de facto telah terbuka lebar. Alexandrino kemudian menunaikan misinya di jalur diplomasi, melakukan safari politik ke berbagai negara di Afrika dan Eropa, bahkan di Roma ia menerima berkat Paus dalam tradisi Urbi et Orbi untuk "Bumi Timor Dili". Setahun kemudian, TAP MPR No. 7 Tahun 1976 memberikan legitimasi de jure, dan Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia, sebuah puncak dari perjuangan panjang mereka.

(Suasana Setelah Integrasi. Kredit Kompas)               
            googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});
(Suasana Setelah Integrasi. Kredit Kompas) googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});

(Masyarakat Timor TImur Membawa Bendera Merah Putih. Kredit Kompas )
(Masyarakat Timor TImur Membawa Bendera Merah Putih. Kredit Kompas )

(Sosok Dading Kalbuadi mengenakan kaos oblong saat Operasi Seroja. (Youtube LC Heroic Story)
(Sosok Dading Kalbuadi mengenakan kaos oblong saat Operasi Seroja. (Youtube LC Heroic Story)

BABAK VI, PERTARUNGAN TERAKHIR DAN SUMPAH YANG ABADI

Waktu pun berlalu, membawa serta dua dekade integrasi yang kompleks dan seringkali menyakitkan. Pada tahun 1999, saat roda sejarah berputar kembali dan Presiden BJ Habibie secara mengejutkan tiba-tiba memberikan dua opsi referendum, keluarga ini kembali bertempur di medan politik yang sama sekali berbeda. Carlos menjadi salah satu pendiri dua organisasi politik pro-otonomi, yaitu Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) sebagai pendiri urutan ke-2, dan Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) sebagai pendiri urutan ke-45 mewakili generasi muda. Alexandrino juga menjadi salah satu pendiri BRTT bersama tokoh-tokoh besar pro-integrasi lainnya seperti Francisco Lopes da Cruz dan Ablio Osrio Soares. Mereka melancarkan pertarungan terakhir untuk mempertahankan visi yang telah mereka bangun dengan darah dan air mata. Dalam situasi yang genting dan penuh kekerasan, Carlos bahkan menjadi pembina bagi para milisi pro-otonomi bersama dua anggota Kopassus, berdasarkan surat keputusan resmi dari Ketua Umum FPDK.

SAME, MANUFAHI - 5/8 - DISAMBUT TAIS. Ketua Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) Lopez Da Cruz disambut secara adat dengan pengalungan Tais sebelum melakukan pengukuhan pengurus BRTT cabang Hera di Same,  Manufahi, Timtim,  Kamis (5/8/1999). Lopez melakukan pelantikan pengurus BRTT sekaligus men-sosialisasikan perdamaian di seluruh wilayah Timtim. ANTARA FOTO/Jaka Sugiyanta/Koz/mp/99.)
SAME, MANUFAHI - 5/8 - DISAMBUT TAIS. Ketua Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) Lopez Da Cruz disambut secara adat dengan pengalungan Tais sebelum melakukan pengukuhan pengurus BRTT cabang Hera di Same,  Manufahi, Timtim,  Kamis (5/8/1999). Lopez melakukan pelantikan pengurus BRTT sekaligus men-sosialisasikan perdamaian di seluruh wilayah Timtim. ANTARA FOTO/Jaka Sugiyanta/Koz/mp/99.)

Kendati demikian, hasil referendum menunjukkan bahwa arus sejarah telah berbalik arah dengan kekuatan sebuah tsunami. Kubu pro-otonomi yang mereka perjuangkan mati-matian hanya meraih 21,5% suara, sementara kubu pro-kemerdekaan menang mutlak dengan 78,5% suara. Itu adalah sebuah vonis dari intrik politik yang tak bisa ditawar.

Alexandrino Borromeu mendapati kenyataan pahit itu dengan sebuah konsistensi yang teguh, sebuah keteguhan yang mencerminkan seluruh hidupnya. Ia memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk selamanya dan hidup di Indonesia, sesuai dengan kredo yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya, yang selalu ia lontarkan dari mulutnya dengan suara yang mantap, 

"saya hanya satu kali keluar dari rahim ibu saya". 

Itu adalah sebuah pernyataan final dari seorang pejuang yang visinya, meskipun pernah terwujud, pada akhirnya ditolak oleh permainan pragmatisme politik. Ia meninggal dan dimakamkan di Bali, di bumi Indonesia, dalam sebuah upacara militer, menancapkan sebuah epos tentang bagaimana sebuah keluarga, dengan sebuah tikar pandan sebagai wasiatnya, dapat menjadi penentu dalam pusaran sejarah sebuah bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun