Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ngeri, Jadi Wartawan Kompasiana Mau Dibunuh

23 Oktober 2020   20:30 Diperbarui: 24 Oktober 2020   02:14 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamera, salah satu peralatan liputan bagi wartawan. Foto | Requisitoire Magazine

Dari dulu penulis tak pernah mengaku diri sebagai wartawan. Baik dalam pergaulan di lingkungan domisili penulis atau pun ketika bergaul dengan orang-orang kementerian/instansi pemerintah.

Di lingkungan instansi pemerintah, biasanya para pejabat sudah tahu mana wartawan dan karyawan. Pejabat mengetahui siapa yang menjalani profesi wartawan lantaran sebelum meliput di instansi bersangkutan, wartawan dibekali kartu identitas.

Jauh sebelum itu, sudah menjadi ketentuan, pimpinan redaksi mengirim surat ke biro humas kementerian. Isinya menjelaskan bahwa pimpinan media bersangkutan menunjuk wartawannya meliput kegiatan keseharian di instansi itu. Dengan begitu, sekalipun ada wartawan tak mengenakan identitas (karena lupa, tertinggal, hilang dst) bisa dimaklumi.Terpenting sudah dikenal.

Itulah sebabnya penulis tak pernah mengaku-ngaku sebagai wartawan. Ya, sebutan bekennya jurnalis. Sebutannya saja terkesan hebat, pemburu berita. Tapi, soal rejeki lebih dikesankan negatif. Yaitu, wartawan amplop. Ini menyedihkan.

Tapi, herannya profesi ini masih dicintai. Mungkin lantaran sering diperebutkan para elite sehingga disebut ratu dunia. Keren, kan? Dalam sejarah saja, coba lihat pernyataan Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte yang takut dengan pers ketimbang pasukan militer.

**

Lalu, bagaimana menjadi  wartawan Kompasiana?

Lagi-lagi, penulis tak pernah mengaku-ngaku sebagai wartawan Kompasiana. Sungguh! Penulis sadar bahwa Kompasiana adalah sebuah laman dari kumpulan penulis blog dengan berbagai strata sosial.

Di situ ada penulis seni, jadi pelaku seni (seniman). Di Kompasiana ada sastrawan, ada politisi, praktisi pers, pebisnis, birokrat, dosen, guru, mahasiswa dan segala profesi lainnya. Bahkan guru besar pun tak ketinggalan ikut menyumbangan pikirannya pada laman Kompasiana. Hebat, kan?

Namun, sampai 12 Tahun Kompasiana berdiri, penulis menjadi bingung ketika bertandang ke salah satu daerah. Tetiba dari arah kerumunan orang di samping penulis, ada seseorang berteriak. Katanya sambil menunjuk jarinya ke arah penulis: "Itu dia, wartawan Kompasiana."

"Hmmm. Ini bisa jadi penyakit," pikir penulis suatu saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun