Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pak Ustaz, Maaf Syairnya Enggak Hafal!

28 Maret 2020   10:47 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:20 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ustaz tengah mengajar. Foto | Dokpri

“Kalau ditanyakan hurufnya, ya hafal. Tapi jangan tanya syairnya. Enggak juga hafal,” jawabku terus terang kepada Pak Ustaz yang mengajar Alquran dalam sepekan tiga kali.

Pasalnya, pikiran tengah kacau. Ada rasa cemas jika membaca berita dan mendengar dari berbagai media massa. Kasus virus Corona atau COVID-19 terus bertambah. Rasa prihatin dan kesedihan makin menggunung menyusul berita pulangnya Ibunda Joko Widodo, bapak presiden yang kita cintai itu.

Penulis merasa ikut bersedih karena ibunya Jokowi, Sujiatmi Notomiharjo, meninggal dunia pada Rabu (25/3/2020) pukul 16.45 WIB. Ibu Sujiatmi meninggal dunia pada usia 77 tahun di Rumah Sakit Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah. 

Penulis ikut merasakan betapa sedihnya ditinggalkan seorang ibu. Apa lagi jika membayangkan raut wajah Jokowi. Penulis merasa dekat dengan sang presiden ini lantaran pernah ngobrol di tepi jalan kawasan kota Solo kala ada sebuah perhelatan Persaudaraan Haji Indonesia. Kala itu ia masih menjabat sebagai walikota Solo.

Setelah itu bertemu kembali ketika ia sudah menjabat sebagai Presiden RI di Wisma Antara Jakarta.

Kepada Pak Ustaz, kuceritakan bahwa peristiwa tersebut tidak bermaksud sebagai alasan syair yang diminta untuk dihafal tak juga mampu diwujudkan.


“Tapi, ini betul-betul kesedihan mendalam sehingga waktu untuk menghafal syairnya tidak bisa dilaksanakan. Rada kacau perasaannya,” kataku menceritakan kepada pak ustaz di masjid seusai shalat Subuh pada Kamis (26/3/2020).

Lantas, ia dengan bijaksana, mengajak penulis untuk memanjatkan doa dengan membacakan surah Al Fatiha.

Selama bergaung imbauan warga untuk banyak bekerja di rumah, sebagai langkah untuk membendung merebaknya dampak buruk COVID-19, penulis memang sudah bertekad untuk bekerja optimal dan sekaligus mengisi waktu dengan meminta pak ustaz memberikan les privat.

Sayangnya, kegiatan rutin menulis terganggu karena jaringan internet “ngadat” . Berkali-kali petugas Indihome ditelepon, sudah dua hari tak kunjung tiba di kediaman.

“Wuih, seperti anak sekolahan saja. Padahal sudah ‘tuwir’, sudah punya cucu baru belajar ngaji. Pakai les segala,” ujar seorang tetangga yang tertangkap telinga penulis dari kejauhan.

Kalimat itu memang berulang kali keluar dari mulut warga sekitar. Tapi, ya namanya belajar, pikir penulis tak salah kalau orang terus. Orang bijak mengatakan, menuntut ilmu itu terus berlangsung hingga berakhir di liang kubur. Tekadnya sih ingin menjadi seorang qori.

**

Membaca Alquran itu mudah. Hurufnya cuma berjumlah 28 dan akan lebih mudah lagi jika mengetahui  tanda bacanya. Jika rajin mengulang, ya pandai lah.

Teman penulis, mantan Dirjen Bimas Buddha, wuih pandai sekali membaca surah Al Fatiha. Hafal di luar kepala. Bacaannya pun fasih. Hanya karena sering mendengar di lingkungannya membaca surah itu berulang-ulang.

Belum tentu teman penulis lainnya sepandai orang yang pernah menjabat sebagai Kapolda Bali itu. Dalam satu kesempatan di hadapan rekan-rekannya ia memperlihatkan kepandaiannya membaca surah Al Fatiha, di lain kesempatan memanjatkan doa Parita di sebuah kelenteng.

Hebat, nih dirjen?

Sungguh, memang terasa bebal. Untuk cepat pandai membaca Alquran pada masa “liburan Corona” ini terasa berat untuk memahami ilmu tajwid.

Ilmu tajwid, bagi kalangan santri, sangat penting dimengerti dan dipahami. Sebab ilmu ini adalah instrumen atau “pedang” dalam membaca Alquran agar terdengar merdu, tepat membacanya dan tidak menimbulkan salah arti bagi yang membaca (qori) dan yang mendengarnya.

Tajwid itu maknanya membaguskan. Sifat asli huruf harus dibaca dengan benar dengan dukungan tanda-tanda bacanya. Mempelajari ilmu tajwid, bagi setiap muslim, adalah fardu kifayah. Sedangkan membaca Alquran sesuai kaidah ilmu tajwid adalah fardu ‘ain.

Soal fardu kifayah dan ‘ain tak perlu lah dibahas di sini, bisa panjang tulisannya nanti. Namun harus dipahami bahwa tidak semua orang membaca Alquran bersuara merdu karena berbagai hal. Seperti sudah dari sononya punya suara serak, sengau dan lainnya. Ada pula bersuara merdu, sayangnya orang bersangkutan tidak mengetahui istilah izh-har, idghom, mad, lam ta’rif dan sebagainya.

Eloknya membaca Alquran itu didukung dengan pemahaman ilmu tajwid. Kita memang harus sadar bahwa sering membaca Alquran dan mempelajari kandungannya akan mendapat ganjaran pahala berlipat.

Bagi penulis membaca koran dan Alquran, keduanya, sama-sama penting. Sayangnya hanya pandai baca dan menulis di koran. Baca Alqurannya baru (belajar) sekarang. Hehehehe..... ampun pak ustaz.

Nah, terkait hal itulah mengapa sang ustaz begitu seriusnya meminta penulis untuk menghafal syair untuk memudahkan hafalan huruf yang diterangkan dalam materi pelajaran ilmu tajwid.

Bagi kalangan santri, pastilah paham bahwa membaca Alquran itu harus mengindahkan panduan tempat keluarnya huruf (makhraj), sifat-sifat dan bacaannya yang keluar dari mulut kita.

Baiknya, pada awal belajar Alquran dikenalkan huruf hijaiyyah dan lima hukum membaca Alquran. Lebih bagus lagi jika belajarnya dilakukan sejak masih kanak-kanak mengingat kata dan kalimatnya selain mudah diingat juga sekaligus sebagai ajang menghafal bacaan Alquran secara bertahap.

Kelima hukum membaca Alquran yang dimaksud itu adalah izh-har halqi, idgham bighunnah, idgham bilaghunnah, Iqlab dan Ikhfa. Izh-har artinya jelas. Maknanya, membaca huruf Alquran dengan terang tanpa bercampur dengan ghunnah (dengung). Halqi berarti suara yang keluar dari tenggorokan.

Idgham artinya masuk (memasukkan) huruf satu ke huruf berikutnya. Ghunnah artinya bacaan yang berdengung. Bilaghunnah maksudnya tak berdengung. Iqlab maknanya mengganti (nun/tanwin) dengan huruf mim yang disamarkan dengan mendengung. Sedangkan ikhfa, artinya samar.

Nah, masing-masing dari kelima hukum itu memiliki huruf yang harus dihafal. Sehingga, kala membaca Alquran, menempatkan lidah tidak “keseleo”, apakah suara dari langit-langit mulut, apakah dari tenggorokan. Juga harus mengetahui pada kalimat yang harus dibaca berdengung atau pun bersuara seperti huruf mental (kol kola).

Jika pak ustaz meminta kita untuk menghafal huruf holqi, ya mudah karena jumlahnya cuma enam huruf. Iqlab hanya satu, idgham ada enam huruf. Sementara untuk ikhfa, wiuh jumlahnya 15 huruf. Untuk memudahkan santri, maka dibuatkanlah syairnya “sifda sana kam jada, syahsun kad sama dum toiban jidfi tuko dho zolima”.

Demkian juga untuk idgham dibuat syair “yarmalun” yang berarti ada huruf ya ro mim lam nun dan waw.

Masih banyak syair lainnya untuk memudahkan menghafal huruf hukum-hukum ilmu tajwid guna memudahkan membaca Alquran. Misalnya pada lam ta’rif (izh-har komariah atau idghom syamsiah).

**

Itulah kesibukan dalam mengisi kesibutan “liburan corona” pada Maret 2020 ini. Tapi, apakah itu saja?

Ya, enggak lah. Masih banyak agenda penting yang dilaksankan. Yaitu nongkrong di lantai dua rumah seorang diri. Seolah menyepi, waktu dihabiskan membaca buku-buku di perpustakaan. Seolah tengah membalas dendam, kalau dulu membaca buku tokoh yang namanya melegenda tak ada kesempatan, ya sekarang waktunya “melahap” buku sepuasnya.

Tapi harus hati-hati tentunya. Jangan terlalu sering melempar pandangan keluar jendela. Sebab, kalau lagi kebetulan ada acara shooting film di pekarangan sana, bisa jadi dimina untuk ikut jadi pemain figuran. Atau, jangan-jangan, malah sebaliknya para artis mengerubungi diri sendiri. Wuih, “ge er” nih. Maklum, tetangga kita di situ kawasan studio alam yang belum diketahui statusnya resmi atau belum.

Untuk ikut-ikutan seperti kebanyak orang ngerumpi, main ke tetangga, ya tak terlalu penting. Untuk urusan sendiri saja terasa waktu sangat sempit. Berbagai hal selalu didiskusikan dengan isteri, termasuk perjalanan perkembangan penyakit virus Corona.

Kami, bersama isteri, tengah sedih dengan peristiwa yang kini melanda. Bukan hanya di tanah air tetapi di sejumlah negara.

Terus terang saja, kami selalu mendoakan agar peristiwa ini cepat berakhir. Juga mendoakan para petugas medis dan relawan yang bekerja “all out” menangani para pasien yang terjangkit COVID-19 diberi kekuatan, ketabahan, kesabaran dan keikhlasan.

Jika ingat petugas kesehatan berjibaku bekerja menangani pasien Corona, penulis juga jadi ingat anak sendiri yang punya profesi dokter. Termasuk sejumlah teman-teman penulis yang anak-anaknya mengabdikan diri menjadi pejuang kesehatan di garis terdepan membantu pasien Corona.

“Ya, Allah, berilah kekuatan dan ketabahan kepada mereka,” kataku dalam hati.

Nah, gara-gara COVID-19 itu pula, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak mengeluarkan visa bagi umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah umrah. Lantaran itu pula niat isteri dan penulis untuk ibadah umrah pada Ramadhan 2020 terancam batal. Padahal, ya sudah bersiap-siap dengan mendaftar ke biro perjalanan.

Salam berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun